Tata ruang kelas - apa kata penelitian?

Apa dampak yang muncul dari susunan tempat duduk yang berbeda di kelas terhadap partisipasi siswa? Apa yang diungkapkan ruang belajar Anda mengenai filosofi mengajar Anda? Siapa yang sebaiknya memutuskan siapa duduk dimana, guru atau siswa? Dalam artikel ini, kita akan cermati apa hasil penelitian.

Ruang belajar hadir dalam beragam bentuk dan ukuran, mulai dari ruangan persegi panjang berisikan 30 siswa dengan dilengkapi pintu dan jendela yang dapat dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan, hingga ruangan dengan konsep terbuka yang dilengkapi dinding lipat yang dapat digunakan sebagai ruang berkumpul siswa. Termasuk diantaranya ada yang di luar ruangan, di dalam ruangan, maupun ruang khusus yang ditujukan untuk mata pelajaran tertentu dengan peralatan khusus, atau ruang serbaguna yang dapat digunakan untuk segala kepentingan sekolah.

Sebagai seorang pengajar, seringkali Anda tidak diberikan kesempatan untuk memilih ruang kelas Anda. Akan tetapi, dengan banyaknya perlengkapan yang tersedia, Anda bebas mengubah dan mengatur tata ruang yang sesuai. Tentu saja setelah selesai mengatur meja tulis, area komputer, bean bags/kursi santai, serta perlengkapan lainnya (misalnya sejumlah pengajar ada yang menempatkan bola untuk latihan fisik), selanjutnya fokus untuk menentukan siapa akan duduk di mana.

Ruang kelas yang mendukung proses belajar mengajar

Jadi, bagaimana cara Anda mengajar, seperti apa kegiatan pembelajaran berlangsung, dan apa yang ingin Anda capai? Sekitar empat puluh tahun yang lalu, seorang psikolog lingkungan asal Amerika, Profesor Robert Sommer, menyatakan suatu gagasan tentang menentukan tata ruang kelas. "Filosofi dari pendidikan guru akan tercermin dalam penyusunan tata ruang kelas. Seorang guru harus mampu memberikan alasan logis mengenai pengaturan meja dan kursi sesuai tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Tidak ada tata ruang kelas yang ideal untuk semua jenis kegiatan (Sommer, 1977)".

Beliau pun menyebutkan beberapa contoh: gaya pengaturan tempat duduk tradisional dimana kursi disusun berbaris dan semua menghadap ke depan mencirikan metode pengajaran ‘duduk dan mendengarkan’; sementara untuk kelompok kerja, penggunaan ‘cluster table atau meja berkelompok’ merupakan metode terbaik karena memungkinkan para siswa untuk berbagi tugas dan bekerja sama; dan jika praktik pengajaran yang dilakukan membutuhkan ruangan yang cukup luas karena penggunaan perlengkapan tertentu, misalnya balok Cuisenarie dalam mata pelajaran matematika, maka perlu disediakan meja yang cukup panjang.

Apakah pengaturan tempat duduk tertentu mendorong partisipasi?

Sebuah studi yang melibatkan seluruh kelas siswa kelas empat di Jerman (Marx, Fuhrer & Hartig, 1999) mencoba memahami apakah pengaturan tempat duduk yang berbeda memancing siswa untuk mengajukan lebih banyak pertanyaan. Para peneliti mengamati 53 kelas mata pelajaran Bahasa Jerman dan matematika selama delapan minggu dan dalam semua kelas tersebut guru berada di depan – baik duduk di mejanya ataupun berdiri.

Mereka menguji dua macam pengaturan tempat duduk – model tradisional baris dan kolom serta setengah lingkaran. “Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanya-jawab lebih sering terjadi ketika siswa didudukkan dalam pengaturan setengah lingkaran daripada dalam pengaturan baris-dan-kolom,” lapor para peneliti. Menariknya, dalam kedua pengaturan ini, bahkan baris dan kolom, mereka mengidentifikasi ada dua 'zona aksi' - satu berbentuk seperti huruf T dan satunya berbentuk seperti segitiga. Anak-anak yang berada di kedua zona ini (mereka yang duduk di area tengah) mengajukan lebih banyak pertanyaan per pelajaran.

Para peneliti menjelaskan bahwa hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan duduk dengan model setengah lingkaran di sekolah dasar 'mampu memberikan kesempatan yang sama kepada semua siswa di kelas', meski perlu diingat bahwa kepribadian guru dan gaya mengajar juga menjadi faktor penentu tingkat partisipasi siswa.

Fernandes, Huang & Rinaldo (2011) menerangkan bahwa penelitian membuktikan partisipasi dan pelibatan merupakan hal penting dalam proses pembelajaran siswa. “Partisipasi di ruang kelas erat kaitannya dengan pengembangan dan peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan stimulasi kognitif semacam ini memberikan siswa kondisi belajar yang berbeda dengan mengusung prinsip pengalaman belajar yang positif dan efektif ... .”

Melihat segala sesuatu dari sudut pandang siswa

Ketika mengunjungi bioskop atau datang ke pertandingan olahraga, selalu ada kemungkinan Anda tiba dan mendapati ‘arah pandang Anda terbatas’ dari posisi tempat duduk Anda. Atau (biasanya lima menit sebelum acara dimulai) seseorang berperawakan tinggi besar menyerupai postur Jonah Lomu akan duduk di tempat duduknya... dan duduk tepat di depan Anda.

Dalam lingkungan kelas, jika meja siswa diposisikan dalam beberapa kelompok kecil - kecuali jika ruangan yang tersedia sangat besar - sulit untuk menemukan cara agar setidaknya satu atau dua siswa duduk tidak membelakangi papan tulis. Selain itu, ada hal lain juga yang perlu dipertimbangkan.

Sommer berpendapat bahwa sejatinya sebuah kelas jauh dari konsep ‘sebuah ruang berbentuk kubus yang homogen’, melainkan merupakan lingkungan-lingkungan mikro yang saling terhubung. ‘Penerangan jauh lebih baik di satu bagian ruangan daripada di bagian lain, udara jauh lebih dingin di dekat jendela, dan cenderung terlalu hangat di sekitar saluran pemanas ruangan. Pandangan ke arah papan tulis sangatlah berbeda dari satu bagian ruangan dengan bagian lainnya, dikarenakan cahaya dari lampu di langit-langit.

Anjuran ini sudah ada sejak tahun 1970-an, tetapi masih relevan hingga sekarang. Dengan adanya penerapan BYOD (bring your own device) dan satu laptop untuk satu siswa serta pemasangan papan pintar elektronik, pantulan cahaya dari lampu di langit-langit dan jendela bisa jadi masalah, dan lain sebagainya. Sommer juga menambahkan, “Sebagian siswa mungkin dapat melihat ke luar ruangan, dan yang lain tidak. Seseorang dengan pengalaman mengajar di ruang kelas bertahun-tahun pun kadang tidak menyadari bahwa siswa yang berada di kuadran sebuah ruangan mengalami kesulitan melihat papan tulis atau grafik di depan kelas. Ada juga penghalang yang sifatnya fisik antara siswa yang duduk di bagian belakang dengan papan tulis misalnya, siswa berpostur tinggi yang kebetulan duduk di meja depan.”

Kapan terakhir kali Anda mencoba memahami sesuatu dengan melihat dari sudut pandang siswa? Pernahkah Anda menempatkan diri di posisi mereka (atau dalam hal konteks ini, tempat duduk) atau bahkan menanyakan apakah mereka dapat melihat dan mendengar dengan sebagaimana mestinya?

Memutuskan siapa duduk di mana

Dalam sistem yang berlaku secara umum, gurulah yang menentukan posisi duduk siswa. Sementara dalam sistem yang lainnya, dimana aktivitas belajar tidak hanya berlangsung di dalam satu ruangan kelas, beberapa guru memilih untuk membiarkan siswa menentukan sendiri di setiap mata pelajaran.

Fernandes, Huang & Rinaldo (2011) beranggapan bahwa akan lebih baik bagi siswa jika aktivitas belajarlah yang menentukan tempat duduk. Saat siswa diberikan kebebasan untuk menentukan posisi duduknya, pengalaman belajar bagi siswa yang duduk di depan akan berbeda dibandingkan dengan mereka yang duduk di posisi belakang. Artinya, ada siswa yang mendapat tempat duduk yang lebih baik daripada siswa lainnya. “Siswa yang datang lebih awal punya kesempatan untuk memilih tempat duduk lebih dahulu, oleh karenanya siswa yang datang terakhir akan lebih besar kemungkinannya duduk di tempat yang tidak ia harapkan... “

Sementara sebagai seorang guru, Anda punya pertimbangan tertentu dalam memutuskan posisi duduk siswa. Pertimbangan yang dimaksud antara lain tugas kelompok yang melibatkan siswa tertentu, atau penentuan berdasarkan kemampuan (misalnya, mengelompokkan kemampuan yang serupa atau mengatur meja dalam kelompok untuk mendorong terbentuknya dukungan antarteman sebaya), atau bisa juga karena manajemen perilaku (misalnya, memberi jarak di antara siswa tertentu atau memindahkan beberapa siswa lebih dekat ke meja guru).

Sebuah studi terbaru di Belanda tidak hanya berhasil mengidentifikasi berbagai macam pengaturan tempat duduk di sekolah dasar, tetapi juga mencoba memahami pertimbangan seorang guru dalam memutuskan siapa akan duduk di mana (Gremmen, van den Berg, Segers, & Cillessen, 2016).

“Pada awal tahun ajaran, sebagai bagian dari manajemen kelas, para guru dihadapkan pada pertanyaan tentang bagaimana dan dimana akan menempatkan siswa mereka. Ini merupakan keputusan penting, karena pengaturan tempat duduk di kelas mempengaruhi iklim belajar di kelas dan hubungan siswa antara satu sama lain ...,” ungkap mereka.

“[Guru] menentukan siswa yang duduk berdekatan dengan siapa, dengan siapa mereka terpapar, dan dengan siapa mereka berinteraksi selama pelajaran di kelas. Sayangnya, aspek pengelolaan kelas seperti ini jarang dibahas dalam pelatihan guru, padahal desain ruang kelas telah terbukti penting baik dalam pengembangan akademik maupun kemampuan sosial siswa.”

Ketika ditanya mengenai preferensi dalam menentukan pengaturan tata ruang kelas, sebanyak 50 guru dalam studi tersebut menyebutkan setidaknya 2 sampai 19 alasan – sebagian besar adalah alasan terkait akademis (31 persen), tetapi 17 persen alasan yang disampaikan berkaitan dengan manajemen kelas. Hampir setengah dari keseluruhan guru yang berpartisipasi dalam penelitian, yakni sebesar 48 persen, memilih untuk membagi siswa ke dalam beberapa kelompok kecil, sementara 40 persen memilih mendudukkan siswa dalam barisan dan 12 persen sisanya memilih pengaturan yang lain.

Para peneliti menemukan bahwa “Alasan yang paling sering dikemukakan sebagai dasar guru membentuk kelompok belajar kecil adalah untuk membangun kerja sama antar siswa, sedangkan guru yang memilih pengaturan dalam baris beralasan agar tercipta suasana yang tenang yang membantu siswa lebih baik secara akademis.” Satu hal yang menarik adalah ada lebih banyak guru (70 persen) sebenarnya lebih menyukai pembagian kelompok kecil, tetapi mereka tidak selalu memilih menerapkannya, terutama pada awal tahun ajaran. “Para guru menyebutkan bahwa pada awal tahun mereka mulai dengan model baris agar siswa mampu berkonsentrasi dan lalu menjelang akhir tahun, siswa baru dibagi ke dalam kelompok.”

Pada akhirnya, sesuai yang disampaikan oleh Sommer di awal artikel, bahwa penting untuk memilih sesuai dengan kondisi Anda dan siswa Anda, sesuai dengan konteks yang berlaku pada saat itu.

Referensi

Fernandes, A. C., Huang, J., & Rinaldo, V. (2011). Does where a student sits really matter? The impact of seating locations on student classroom learning (Apakah di mana siswa duduk benar-benar penting? Dampak lokasi tempat duduk pada pembelajaran siswa di kelas). International Journal of Applied Educational Studies, 10(1), 66-77.

Gremmen, M. C., van den Berg, Y. H., Segers, E., & Cillessen, A. H. (2016). Considerations for classroom seating arrangements and the role of teacher characteristics and beliefs. Social Psychology of Education, 19(4), 749-774.

Marx, A., Fuhrer, U., & Hartig, T. (1999). Effects of classroom seating arrangements on children's question-asking (Pengaruh pengaturan tempat duduk di kelas pada anak-anak mengajukan pertanyaan). Learning Environments Research, 2(3), 249-263.

Sommer, R. (1977). Classroom layout (Tata Letak Ruang Kelas). Theory into Practice, 16(3), 174-175.

Kapan terakhir kali Anda melihat tata ruang kelas Anda dari sudut pandang siswa? Apakah Anda secara teratur memastikan semua siswa di kelas dapat melihat dan mendengar dengan baik?

Apakah aktivitas belajar di kelas menjadi penentu pengaturan tempat duduk di kelas Anda? Apakah Anda mengubah tata ruang kelas sesuai dengan aktivitas yang berbeda-beda atau pada waktu-waktu tertentu dalam jangka waktu setahun?

Bisakah Anda memberikan alasan yang jelas mengenai pengaturan tempat duduk kelas Anda berdasarkan tujuan pendidikan yang dicita-citakan?