Melampaui stereotip gender di tahun awal sekolah

Para peneliti telah menggunakan latar cerita rakyat Indonesia untuk mengeksplorasi bagaimana murid mengambil dan mengalami peran gender yang berbeda selama bermain di tahun awalnya belajar, serta bagaimana guru dapat mendukung perkembangan pembelajaran mereka dengan materi yang mampu melampaui stereotip gender tradisional.

Ade Dwi Utami dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Profesor Marilyn Fleer dan Dr. Liang Li dari Monash University of Melbourne, menggunakan aktivitas bermain yang bertemakan cerita rakyat tradisional. Mereka menulis temuan studi mereka di jurnal Learning, Culture and Social Interaction.

"Meskipun banyak penelitian yang mengangkat studi permainan berbasis gender pada anak usia dini, sebagian besar penelitian tersebut mengeksplorasi keyakinan dan praktik serta pemosisian gender dalam cerita ataupun mainan anak-anak dalam konteks dunia Barat. Sedikit yang sebenarnya telah diketahui tentang permainan berbasis gender di Indonesia,” kata penulis.

Pemerintah Indonesia juga telah mulai menyoroti pentingnya kesetaraan gender, termasuk dalam layanan pendidikan sejak di lingkungan pengasuhan anak usia dini. Peran guru diakui penting dalam menciptakan lingkungan netral gender di tahun-tahun awal anak belajar dan bermain.

Adalah pengetahuan umum bahwa bahwa baik anak laki-laki dan perempuan tidak hingga saat ini tidak banyak diberi kesempatan untuk bermain dengan materi yang tidak stereotipikal ataupun nonbiner. Penelitian menunjukkan bahwa dengan membedakan anak perempuan dan laki-laki dalam kaitannya dengan ruang bermain, cerita, mainan, jenis permainan dan perilaku bermain anak-anak, akan tercipta suatu budaya yang menormalkan stereotip biner gender dan menempatkan hal ini sebagai isu yang tidak penting untuk diangkat.

Aktivitas belajar dan skenario permainan imajiner

Bacaan di bawah diambil dari salah satu studi yang merupakan bagian dari dua studi terkait pengasuhan anak usia dini yang lebih besar. Hasil studi ini dipublikasikan dalam Learning, Culture and Social Interaction dan berbasis pada penelitian yang dilakukan di sebuah pusat pendidikan anak usia dini di Jakarta yang memiliki sembilan guru dan berfokus pada salah satu dari 38 anak – Fatah yang berusia empat tahun (bukan nama sebenarnya).

Para peneliti yang tergabung melakukan observasi terhadap aktivitas yang dilakukan oleh guru dan murid lewat video selama masa waktu enam Minggu. Seluruh guru diajak ikut serta dalam suatu diskusi terpumpun (focus group discussion) dan diwawancara di awal dan akhir proses pengumpulan data mengenai aktivitas bermain yang mereka implementasikan di sekolah.

Playworld adalah model pengajaran berbasis bukti yang dikembangkan oleh Fleer. Salah satu tujuannya adalah untuk menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan anak melalui drama. Pengajar membuat skenario bermain dan anak-anak diajak untuk menjelajahi dunia imajiner sambil mengambil peran yang berbeda.

Penelitian ini mengambil cerita rakyat tradisional Indonesia tentang Putri Kemuning, ayah, serta saudara perempuannya sebagai latar aktivitas. Tentu di dalamnya terdapat berbagai karakter yang “menuntut” jenis kelamin spesifik dalam tiap-tiap perannya – misalnya karakter Raja dan prajurit (biasanya diperankan oleh laki-laki) dan Putri serta inang istana (secara tradisional diperankan oleh perempuan). Terdapat pula peran yang membagi setiap karakter atas dasar kekuasaan yang dimiliki – seluruh peran laki-laki secara tradisional kerap identik dengan karakter yang kuat serta berkuasa sedangkan Kemuning, adik perempuan, serta inang digambarkan sebagai karakter yang tidak berdaya.

Utami memberi tahu Teachers dalam permainan anak-anak semacam ini, orang dewasa terbiasa melihat segala sesuatunya dari perspektif yang telah terdefinisikan sebelumnya. Misalnya, [dalam studi ini] perspektif guru pada umumnya adalah menempatkan anak laki-laki dalam karakter maskulin seperti raja dan tentara. Namun dalam perspektif Fatah, peran inang (pembantu) justru lebih menarik baginya.

Apa yang terjadi selama aktivitas ini?

“Kebanyakan murid mengukuhkan stereotip gender dalam cerita dengan memilih karakter yang tipikal dimainkan masing-masing oleh perempuan dan laki-laki. Meski demikian, beberapa anak perempuan dan laki-laki menolak menjalankan stereotipe semacam ini selama kegiatan Playworld,” tulis peneliti dalam jurnalnya.

Fatah mulai dengan memulih berperan sebagai Raja, penulis melihat bahwa karakternya yang dominan mendorongnya untuk lebih memilih karakter pria atau seseorang yang kuat dan berkuasa. Pengamatan video menunjukkan bagaimana guru tampaknya mengarahkan drama tersebut dengan pandangan pribadinya, bahwa Fatah semestinya duduk di atas takhta sebagai raja – mengukuhkan peran tradisional.

Namun, Fatah kemudian memutuskan untuk bermain dengan anak-anak perempuan yang sedang berperan menjadi inang – saat menyiapkan makanan untuk bangsawan. Awalnya ia mempertanyakan peran tersebut, menyangsikan jenis kelamin yang sesuai untuk memainkannya, namun guru menjelaskan bahwa inang yang sebenarnya dapat saja adalah laki-laki maupun perempuan, sehingga membuka kemungkinan bagi semua anak untuk memainkan karakter itu, mendengar ini, Fatah secara resmi mengganti perannya dalam Playworld.

Pada hari kedua di Playworld, Fatah bergabung dengan anak-anak yang sedang berperan membangun dapur dan saat mereka bermain, dia bertemu dengan beberapa tentara. Seorang guru yang berperan menjadi tentara wanita bertanya dengan suara yang tinggi (sesuai dengan tuntutan karakternya) apakah dia seorang yang jahat, seorang inang, ataukah seorang raja. Terjadi keheningan dan gestur memutar mata dari Fatah hingga sang guru memutuskan untuk melunakkan tindakannya. Fatah pada akhirnya menjawab dengan suara pelan “raja”. Para peneliti mencatat bagaimana seorang guru perempuan yang berperan sebagai tentara adalah satu lagi disrupsi yang dapat dilakukan dalam membongkar stereotip peran biner gender, serta hal yang membuat Fatah kembali berpegang pada pola tradisional biner gender. Hanya pada hari kelimalah, saat ia telah merasa lebih akrab dengan suasana Playworld, Fatah mengangkat tangannya ketika guru bertanya “siapa yang akan menjadi inang hari ini?” dan kemudian tanpa ragu menyatakannya kembali ketika ditanya tentang peran yang ia pegang.

Temuan dan kesimpulan

“Selama pertunjukan, Masih banyak anak yang mengukuhkan peran stereotip gender dalam cerita, dipengaruhi oleh pandangan tradisional. Meski begitu, beberapa anak terlihat menantang batasan gender semacam ini dan melawan peran gender stereotip, termasuk Fatah,” tulis para peneliti.

“Para guru dalam hal ini bekerja secara efektif untuk memberikan kebebasan kepada anak-anak agar memilih peran yang mereka inginkan… [hal ini] mendukung eksplorasi anak-anak mengenai dunia yang berbeda dengan yang selama ini mereka ketahui terkait dengan peran gender. Selain itu, dalam situasi imajiner semacam ini, para guru juga belajar untuk mencoba mendukung pilihan-pilihan Fatah.” Mereka juga menambahkan bahwa dengan ikut bermain, guru dapat ikut membantu memengaruhi perspektif anak – sebagaimana dalam kejadian di mana guru berperan sebagai tentara wanita dan melakukan hal yang mendisrupsi stereotip.

Para peneliti melihat bahwa temuan mereka dapat berkontribusi pada praktik guru dalam mendukung perkembangan anak-anak lewat bermain, dan menyarankan agar lebih banyak fokus untuk membantu anak-anak mengelola berbagai ketegangan peran gender semacam ini ke depannya.

Referensi

Utami, A. D., Fleer, M., & Li, L. (2021). An analysis of a child's experiences in playing a gendered character during playworld. Learning, Culture and Social Interaction, 28, 100454. https://doi.org/10.1016/j.lcsi.2020.100454

Dengan rekan kerja, atau secara individu, pikirkan tentang praktik mengajar Anda sendiri:

Sudahkah Anda memberi anak-anak kesempatan untuk menikmati lingkungan bermain non-gender?

Apakah Anda menormalkan stereotip gender selama bermain?

Terkait masalah dan contoh dalam artikel ini, tindakan apa yang dapat Anda lakukan untuk melawan stereotip tradisional dan mengembangkan identitas gender murid Anda?