Gedung sekolah Alfa Omega di Indonesia adalah contoh hasil karya arsitek yang bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk menghasilkan fasilitas fungsional yang sedap dipandang mata dan ramah lingkungan.
Proyek ini membuat para juri terkesan pada acara World Architecture Festival 2018, dan berhasil masuk ke daftar final kategori Sekolah. Dalam kisah foto hari ini, kita akan melihat lebih dekat desain mutakhir sekolah tersebut yang hingga saat ini selalu menarik perhatian para penduduk lokal dan pengunjung yang datang.
Sekolah ini dibangun di atas area bekas rawa dan sawah yang terletak di kota Tangerang, provinsi Banten. Menurut tim proyek RAW Architecture, lokasi tersebut sengaja dipilih untuk memberi siswa perasaan dekat dengan alam, dan mendorong kegiatan belajar dan mengajar di dalam maupun di luar ruangan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengubah area tersebut, hanya berkisar empat bulan dari awal sampai selesai. Realrich Sjarief, pendiri RAW Architecture, berkata bahwa kunci dari waktu perubahan yang cepat adalah penggunaan material dan tukang atau perajin lokal, bukan developer besar. Hal ini membantu menciptakan ikatan yang kuat antara masyarakat dan bangunan itu sendiri.
Pengrajin bambu dari daerah Sumedang membuat pagar pembatas dan jalan masuk yang ditinggikan. Penggunaan bahan-bahan berbiaya rendah seperti bambu dan nipah (sejenis palem yang tumbuh di lingkungan hutan bakau) dapat menghemat anggaran awal sebesar 30 persen.
Bagian depan bangunan diawali dengan 'jembatan beratap bambu' yang mengesankan dan membawa guru, siswa, dan orang tua ke bangunan utama sekolah.
Semua bahan dan sumber daya yang digunakan dalam proyek tersebut dapat ditemukan dalam jarak lima kilometer dari lokasi – sehingga mengurangi waktu pembangunan dan jejak karbon proyek.
Gambar di atas menunjukkan area 'lobi' sekolah, yang berubah menjadi pusat aktivitas di awal dan akhir hari ketika orang tua tiba dengan anak-anak mereka.
Ruang tunggu berdinding kaca telah dipasang di lobi. Bagian dalam sekolah (termasuk area terbuka dan langit-langit yang tinggi) telah dirancang agar penerangan di siang hari berasal sepenuhnya dari sumber cahaya alami, sehingga sumber cahaya dari lampu baru digunakan pada sore hari.
Agar tidak mengandalkan AC, desain sekolah dibuat berupa langit-langit tinggi dan batu bata berpori pada dinding kelas untuk memungkinkan ventilasi udara silang.
Dinding batu dan kerangka baja dibangun oleh para pengrajin dari Salembaran yang lokasinya berdekatan.
Sebagai solusi atas peraturan zonasi lahan lokal, arsitek membangun empat gedung modular yang dihubungkan oleh halaman tengah.
Struktur di atas koridor adalah kantilever dua meter untuk menciptakan kerai alami yang sekaligus melindungi dari hujan lebat.
Sjarief mengatakan penggunaan bahan yang tidak menyerap panas (daya konduksi termal yang rendah), seperti nipah di atap, fasad batu bata, bambu di langit-langit dan lantai beton, memungkinkan bangunan menjadi dingin hingga suhu interior rata-rata 27 ° C sepanjang tahun.
Dengan mempertimbangkan lokasi bekas rawa dan sawah, arsitek memutuskan untuk mengatasi masalah stabilitas tanah dengan mengangkat seluruh struktur bangunan setinggi 2,1 meter dari permukaan tanah.
Sjarief mengatakan adanya ikatan yang kuat antara komunitas lokal, pengrajin, dan desainer di Sekolah Alfa Omega membuka kesempatan 'proses kreatif kolektif' dalam pembangunan sekolah tersebut.