Kompetensi global murid – perspektif dari Asia Tenggara

Keterampilan apa yang dibutuhkan murid agar dapat menavigasi diri dunia yang terus berubah dengan cepat, kompleks, dan beragam? Tujuh negara dari kawasan Asia Tenggara berpartisipasi dalam kuesioner PISA mengenai kompetensi global dan menghasilkan beberapa wawasan menarik untuk dipetik.

Siklus tes PISA (Programme for International Student Assessment) terbaru mencakup kuesioner kompetensi global untuk mengukur pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan murid berusia 15 tahun yang dianggap perlu dikuasi untuk dapat berhasil di dunia yang semakin terkoneksi satu sama lain.

Empat dimensi kompetensi global tercakup di dalamnya: mengkaji isu-isu penting lokal, global dan antarbudaya; memahami dan menghargai perspektif orang lain atas pandangan nya terhadap kehidupan di dunia global; kemampuan untuk terlibat dalam interaksi yang terbuka, pantas, serta efektif dalam suatu relasi lintas budaya; dan ikut nertindak untuk mendukung tercapainya kesejahteraan kolektif dan pembangunan berkelanjutan.

Enam puluh enam negara berpartisipasi dalam kuesioner kompetensi global PISA 2018, termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam dan Filipina.

Laporan OECD Hasil PISA 2018 (Volume VI): Sudah Siapkah Murid untuk terus Bertumbuh di Dunia yang Saling Terkoneksi? memberikan rincian mengenai hasil kuesioner dan tes kognitif yang dilakukan oleh beberapa negara yang berpartisipasi.

Di sini, kita dapat melihat respon murid atas kuesioner dari dua bidang: jumlah bahasa asing yang dipelajari di sekolah; serta tindak aktif terkait isu-isu global.

Pelajaran Bahasa

“Kemempuan untuk berbicara dalam berbagai bahasa dan belajar satu atau lebih bahasa asing di sekolah secara positif dikaitkan dengan perkembangan watak dan sikap murid di sejumlah besar negara,” tulis laporan yang ada.

Rata-rata di semua negara OECD: 12% murid mengatakan mereka tidak mempelajari bahasa asing di sekolah; 38% mengatakan mereka mempelajari satu jenis bahasa asing dan setengahnya mengatakan mereka mempelajari dua atau lebih. Berikut tanggapan dari murid-murid di Asia Tenggara.

SEA-ID Global competence - foreign languages

[Sumber: OECD PISA 2018 Tabel VI.B1.4.10]

Mengomentari temuan dari semua negara yang berpartisipasi, OECD mengatakan: “Murid di negara-negara berbahasa Inggris mungkin tidak memiliki cukup banyak insentif untuk mempelajari bahasa kedua, mengingat bahwa bahasa Inggris telah menjadi lingua franca dunia; tetapi di negara lain, rendahnya kemampuan murid menguasai multibahasa sangat mungkin terjadi karena kurangnya kesempatan belajar di sekolah."

Di 30 negara dan wilayah kerjasama ekonomi, data menunjukkan bahwa anak perempuan cenderung lebih mampu berbicara dalam beberapa bahasa dibandingkan anak laki-laki. Hal sebaliknya hanya terjadi di delapan negara.

Mengambil tindakan terhadap isu-isu global

Dimensi keempat dari kompetensi global adalah kemampuan untuk mengambil tindakan demi kesejahteraan kolektif dan pembangunan berkelanjutan. “Dimensi ini berfokus pada peran kaum muda sebagai anggota masyarakat yang aktif dan bertanggung jawab. Hal ini mengacu pada kesiapan mereka untuk menanggapi masalah atau isu di tingkat lokal, global, ataupun lintasbudaya,” jelas laporan OECD.

Kuesioner tersebut menanyakan kepada murid tentang keterlibatan serta tindakan yang mereka ambil sebagai respon terhadap isu-isu global. Mereka diminta untuk menjawab “ya” atau “tidak” untuk pernyataan-pernyataan berikut:

  • Saya mengurangi energi yang saya gunakan di rumah (misalnya dengan mematikan pemanas atau menurunkan AC, atau dengan mematikan lampu saat meninggalkan ruangan) untuk melindungi lingkungan
  • Saya memilih produk tertentu atas dasar alasan etis atau lingkungan, meskipun harganya sedikit lebih mahal
  • Saya menandatangani petisi lingkungan atau sosial secara daring
  • Saya memastikan agar diri saya mendapatkan informasi tentang peristiwa dunia melalui Twitter atau Facebook
  • Saya memboikot produk atau perusahaan karena alasan politis, etis, atau lingkungan
  • Saya berpartisipasi dalam kegiatan yang mempromosikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
  • Saya berpartisipasi dalam kegiatan yang mendukung perlindungan lingkungan
  • Saya secara teratur membaca situs web tentang isu-isu sosial internasional (misalnya kemiskinan, atau hak asasi manusia)

Di kawasan Asia Tenggara, pelajar di Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, serta pelajar di Yordania, Maroko, dan Turki, rata-rata menjawab “ya” untuk lebih dari lima pernyataan/tindakan di atas. Murid-murid seumuran mereka di Prancis, Jerman, Irlandia, Italia, dan Swiss melaporkan hanya mengambil kurang dari tiga pernyataan/tindakan.

Di seluruh OECD, murid paling banyak melaporkan telah mengambil tindakan untuk mengurangi konsumsi energi (71%); diikuti dengan aktif mengikuti peristiwa dunia melalui Facebook dan Twitter sebagai tindakan paling populer kedua (64%), selanjutnya di posisi ketiga yaitu membaca situs web tentang isu-isu sosial internasional (46%). Tiga tindakan yang paling tidak umum adalah menandatangani petisi lingkungan atau sosial secara daring (25%), memboikot produk atau perusahaan karena alasan politis, etis, atau lingkungan (27%), dan berpartisipasi dalam kegiatan yang mempromosikan kesetaraan gender (33%).

Di sana-sini tercatat variasi besar yang cukup besar antar negara yang terlibat. Empat dari lima murid (80%) di 15 negara – termasuk Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand – melaporkan telah mengambil tindakan untuk mengurangi konsumsi energi, namun kurang dari 65% di 12 negara lain melaporkan mengambil tindakan yang sama. Partisipasi dalam kegiatan yang mempromosikan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan adalah hal yang umum di Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam dan delapan negara lainnya (50% murid melaporkan melakukannya), sementara lebih dari 75% murid di 14 negara – termasuk Filipina, Thailand dan Vietnam – mengatakan mereka hanya mengikuti berita acara global melalui media sosial.

Direktur Pendidikan dan Keterampilan OECD, Andreas Schleicher, mengomentari hasil rata-rata keseluruhan murid terkait pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan murid dan mengingatkan kembali bahwa sekolah memiliki peran penting dalam mengembangkan kompetensi global.

“Sekolah dapat memberikan kesempatan bagi kaum muda untuk belajar tentang perkembangan global yang penting bagi kehidupan mereka serta dunia secara umum,” sebutnya dalam kata pengantar di laporan PISA 2018.

“Sekolah akan membekali peserta didik dengan kemampuan untuk mengakses dan menganalisis berbagai praktik dan makna budaya. Sekolah juga dapat mendorong murid untuk terlibat dalam pengalaman yang akan memfasilitasi hubungan internasional dan antarbudaya serta mendorong mereka untuk merefleksikan hasil belajar dari pengalaman tersebut.

“Terakhir, sekolah dapat menumbuhkan nilai keragaman masyarakat, bahasa dan budaya, mendorong kepekaan, rasa hormat serta penghargaan antarbudaya."

Referensi

OECD. (2020). PISA 2018 Results (Volume VI): Are Students Ready to Thrive in an Interconnected World? OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/d5f68679-en.