Bincang buku bersama pustakawan: Diskusi tentang peluang serta perspektif

Sebuah studi terhadap anak-anak yang berpartisipasi dalam kegiatan bincang buku di perpustakaan menunjukkan lini prioritas yang berbeda antara guru dan pustakawan terkait proses membaca. Lebih lanjut, studi ini menyarankan agar kedua pihak dapat bekerjasama dengan lebih kohesif.

Laporan Bincang buku bersama pustakawan bagi anak-anak: Sebuah peluang untuk memperluas praktik membaca?, yang terbit dalam Journal of Early Childhood, melibatkan murid-murid Kelas 2 dari tiga sekolah dasar di selatan Swedia serta tiga perpustakaan. Dari tiga perpustakaan yang ikut serta, dua di antaranya terhubung dengan sekolah tertentu, sedangkan satu sisanya merupakan perpustakaan umum.

Para pustakawan yang terlibat dalam studi tersebut didapati lebih berfokus pada kesenangan yang didapatkan murid lewat membaca, sedangkan guru berpendapat bahwa prioritas teratas adalah keterampilan membaca.

“Banyak guru di Swedia menyertakan sastra anak dalam rangkaian materi ajar mereka. Namun dengan munculnya peningkatan standardisasi, termasuk persyaratan mengenai pengetahuan tertentu, mengarahkan fokus bergeser lebih ke arah penilaian tentang kecakapan membaca murid,” ujar penulis laporan, Catarina Schmidt, yang merupakan Associate Profesor di Jönköping University, kepada Teacher.

“Dalam rangka mendukung anak-anak dalam suatu komunitas, guru hendaknya bekerjasama sebisa mungkin dengan pustakawan,” jelas Schmidt.

Sepintas mengenai studi yang dilakukan

Studi ini berlangsung selama tahun 2015 hingga 2016 dan diawali dengan percakapan informal antara Schmidt dengan seorang pustakawan, yang dilanjutkan dengan mengobservasi dua acara pembacaan buku yang melibatkan 12-20 anak dari sekolah-sekolah yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut.

Kemudian dilakukan wawancara kelompok bersama empat anak dari masing-masing sekolah, demikian pula wawancara bersama dua pustakawan serta satu guru dari sekolah dan perpustakaan yang berpartisipasi. Dalam wawancara tersebut, anak-anak berbagi pengalaman yang mereka dapatkan selama acara bincang buku, apa yang menurut mereka menjadikan sebuah buku menarik dan alasan mengapa mereka membaca buku tersebut. Para guru dan pustakawan juga mendiskusikan pengalaman mereka sendiri mengenai acara bincang buku, bagaimana mereka dapat mendukung kegiatan membaca anak, serta bagaimana peran materi sastra anak dalam pembelajaran.

Perspektif pustakawan dan guru

Terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai tujuan serta watak bincang buku dari hasil wawancara bersama pustakawan dan guru dalam studi ini.

Melalui wawancara bersama pustakawan, Schmidt melihat bagaimana bagi seorang pustakawan, nampaknya tujuan dan solusi bagi anak untuk dapat menjadi pembaca yang baik dengan cara mereka sendiri sebagai individual, adalah melalui kegiatan membaca demi kesenangan membaca itu sendiri. Muncul pula gambaran mengenai “pembaca teladan”, yang dideskripsikan oleh para pustakawan sebagai seorang anak yang senang membaca karya-karya sastra anak serta rajin mengeksplorasi banyak jenis bacaan lain.

“Secara kolektif, pustakawan menekankan apa yang mereka maksud dengan ‘membaca demi kesenangan’,” jelas laporan ini. “… di sini terlihat jelas bedanya dengan persepsi para guru, yang semuanya menggarisbawahi kebutuhan penting kepada proses pemahaman bunyi dan makna dari tulisan (decoding) secara otomatis serta tugas guru dalam mendukung para murid untuk mampu melakukannya.”

Perbedaan sudut pandang lain yang dilaporkan oleh studi tersebut berkaitan dengan jenis buku yang paling sesuai untuk dibaca anak. Semua guru yang diwawancara bersikeras bahwa murid harus berlatih membaca buku dengan tingkat kesulitan yang sesuai, dan bahwa guru memiliki andil serta tanggung jawab untuk mengarahkan murid dalam memilih buku, lebih dari yang diyakini perlu oleh pustakawan.

Hubungan antara guru dan pustakawan

Studi ini menunjukkan bahwa di saat acara bincang buku selesai dan anak-anak telah meninggalkan perpustakaan, pustakawan biasanya tidak sadar akan dampak atau pengaruh acara tersebut terhadap murid. Karenanya, menurut Schmidt, salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hubungan, kerjasama, dan kepaduan antara guru dan pustakawan, adalah dengan memaksimalkan acara bincang buku baik sebelum maupun setelah acara tersebut berlangsung.

“Sebelum [acara bincang buku], penting bagi pustakawan untuk mengetahui informasi mengenai topik-topik terkini, juga kebutuhan dan/atau bahasa yang dikuasai oleh para murid,” jelas Schmidt. “Selama acara bincang buku, murid mendapat akses penuh kepada buku-buku yang ingin dibacanya, namun bagaimana setelahnya? Apakah akan ada satu buku untuk dibaca bersama-sama dan dibahas di ruang kelas? Bagaimana pengaturannya?”

Studi ini juga melaporkan bahwa salah satu solusi agar anak-anak dapat mengembangkan kebiasaan dan perilaku positif berkaitan dengan kegiatan membaca mereka adalah dengan mendukung serta mendorong mereka untuk rajin mengunjungi perpustakaan.

Referensi

Schmidt, C. (2020). Librarians’ book talks for children: An opportunity for widening reading practices? Journal of Early Childhood Literacy. https://doi.org/10.1177/1468798420964941

Sebagai pengajar anak usia dini, renungkanlah mengenai hubungan Anda serta anggota komunitas sekolah Anda yang lebih luas dengan perpustakaan-perpustakaan lokal. Bagaimana hubungan tersebut dapat meningkatkan budaya membaca di sekolah Anda? Di area mana sajakah terdapat ruang untuk berkembang?