COVID-19: Pembelajaran jarak jauh masih tidak terjangkau oleh sepertiga anak sekolah

Ketika pandemi COVID-19 membuat sekolah di seluruh dunia terpaksa harus menutup pintu bagi siswa, pemerintah dan sistem-sistem edukasi dengan cepat beraksi untuk menerapkan program dan kebijakan belajar jarak jauh. Namun, analisis terbaru menunjukkan bahwa setidaknya sepertiga anak sekolah di dunia ternyata tidak dapat mengakses bentuk pengajaran alternatif tersebut.

Menurut laporan UNICEF tahun 2020, hampir 1,5 milyar anak terkena dampak dari penutupan sekolah pada puncak lockdown dan lebih dari 90 persen dari kementerian pendidikan di berbagai negara menerapkan kebijakan untuk penyediaan sarana pembelajaran digital jarak jauh. Laporan tersebut menyatakan, sebagai hasil kebijakan pemerintah, anak-anak telah dapat melanjutkan aktivitas belajar mereka, namun ada setidaknya 463 juta anak yang terpaksa berhenti belajar karena tidak memiliki akses internet, akses kepada peralatan digital atau layanan siaran pelajaran. Anak-anak dari rumah tangga yang paling tidak mampu dan mereka yang tinggal di wilayah terpencil, terkena dampak terbesar dari kesenjangan digital ini.

Analisis tersebut menggunakan gabungan data dari UNESCO dan UNICEF serta survei dari World Bank mengenai penanganan yang telah dilakukan oleh pemerintang mengenai berjalannya pendidikan nasional selama periode penutupan sekolah akibat COVID-19, yang melibatkan lebih dari 100 negara. Yang dihitung dalam studi ini masih terbatas pada anak-anak yang memang telah bersekolah sebelum terjadinya pandemi. Studi ini meninjau akses atas siaran TV, radio, dan internet, serta penyampaian kurikulum melalui media tersebut selama sekolah ditutup.

“Untuk setiap level pendidikan, kebanyakan negara telah mengembangkan berbagai kebijakan terkait sistem pembelajaran jarak jauh yang sifatnya digital (berbasis-internet) atau media konvensional (berbasis-TV atau radio),” laporan tersebut mencatat. “Pendekatan yang paling umum adalah yang berfokus kepada instruksi digital, yang digunakan oleh 42 persen negara untuk pendidikan pra-sekolah dasar, oleh 74 persen negara untuk pendidikan dasar, dan oleh 77 persen negara untuk pendidikan menengah ke atas. … Secara keseluruhan, 94 persen kementerian pendidikan di berbagai negara yang telah dianalisis mengembangkan kebijakan-kebijakan terkait ketentuan mengenai setidaknya satu bentuk pembelajaran jarak jauh yang melibatkan instruksi digital dan/atau siaran.”

Jangkauannya kemungkinan bahkan lebih rendah

Tabel di bawah ini menunjukkan angka minimum dari anak usia pra-sekolah dasar, sekolah dasar dan menengah yang tidak dapat mengakses sistem pembelajaran jarak jauh, sesuai wilayah.

* Jumlah total termasuk kurang-lebih 40 juta anak dari negara-negara yang belum disertakan dalam data survei.

Laporan ini memperingatkan bahwa situasi saat ini kemungkinannya bahkan lebih buruk dari apa yang ditunjukkan oleh data yang tersedia. “Fakta bahwa sebuah rumah memiliki televisi dan negara menawarkan pelajaran berbasis-TV, bukanlah garansi anak di rumah tersebut akan ikut serta — orangtua mungkin tidak paham bagaimana cara mengakses pelajarannya atau mungkin tidak mengikuti langkaholangkah yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran anak mereka.”

UNICEF mencatat bahwa anak dapat tertinggal dalam pembelajaran jarak jauh karena mereka tidak memiliki akses kepada teknologi di rumah akibat adanya konflik kepentingan — misalnya harus bekerja atau harus bantu-bantu di rumah — atau mereka tidak memiliki lingkungan belajar yang mendukung.

Laporan ini menyertakan komentar dari Sun Sakada, seorang anak laki-laki berusia 8 tahun di Kelas 3 yang tinggal di Kamboja. Ia kesulitan mengakses pekerjaan rumah dan perkembangan terbaru dari sekolahnya.

Belajar online itu susah. Guru-guru mengirim pelajaran dan PR di grup Facebook Messenger. Saya bisa terima lewat ponsel ibu tapi kalau pulsanya habis, saya tidak tahu harus bagaimana, tidak tahu PR-nya apa dan selalu ketinggalan pelajaran.

Laporan juga menyebutkan bahwa aksi untuk mengurangi kesenjangan digital hendaknya termasuk: mengadaptasi metode penyampaian serta materi bagi rumah tangga yang tidak memiliki akses kepada media siar atau digital; berinvestasi dalam infrastruktur untuk menjangkau wilayah terpencil; mengembangkan pilihan belajar terpadu yang menggabungkan pembelajaran jarak jauh dan tatap muka; serta menyediakan dukungan dan pelatihan bagi para guru dan orangtua untuk membantu anak belajar dari rumah.

Membuka kembali sekolah pasca lockdown

UNESCO, UNICEF, World Food Programme, World Bank dan UNHCR telah menerbitkan sebuah kerangka kerja untuk membuka kembali sekolah untuk membantu otoritas lokal dan nasional dalam pembuatan keputusan, perencanaan, dan kesiapan dalam enam prioritas kunci: reformasi kebijakan, syarat-syarat finansial, operasi yang aman, kompensasi pembelajaran, kesehatan dan perlindungan, serta kemampuan untuk menjangkau mereka yang paling marjinal.

Rekomendasinya termasuk protokol mengenai pembatasan sosial dan tata cara kebersihan yang baik, fokus kepada praktik untuk mengompensasi waktu belajar yang hilang, membuat komunikasi penting agar dapat tersedia dalam bahasa yang relevan dan bentuk-bentuk yang mudah diakses, dan memperluas fokus kepada kesejahteraan siswa.

Referensi

United Nations Children's Fund. (2020) Covid-19: Are children able to continue learning during school closures? A global analysis of the potential reach of remote learning policies using data from 100 countries. UNICEF.

Bagaimana cara sekolah Anda beradaptasi dengan situasi pandemi? Sudahkah seluruh siswa Anda dapat mengakses materi belajar dan mengajar jarak jauh? Selama masa belajar jarak jauh, seberapa seringkah Anda berkomunikasi dengan orangtua dan siswa?