Mendorong pola pikir kewirausahaan

Saat kamu memikirkan kata ‘kewirausahaan’, apa yang kemudian terbersit dalam pikiranmu? Apapun itu, kecil kemungkinannya jika melibatkan sekolah atau lingkungan ruang kelas, tapi inilah mengapa guru diminta untuk memulai menebar benih perusahaan rintisan (start-up) di masa depan.

Boosting High-Impact Entrepreneurship in Australia (Mendorong Kewirausahaan Berdampak Tinggi di Australia), sebuah publikasi yang dirilis oleh Office of the Chief Scientist pada tahun 2015, mengamati bagaimana universitas dan sekolah dapat membantu membangun budaya kewirausahaan. Salah satu diantaranya adalah dengan mengikuti langkah negara lain yang telah menjadikan kewirausahaan sebagai salah satu prioritasnya.

Ketika laporan di atas dirilis tahun lalu, kepala peneliti saat itu, Professor Ian Chubb, menyatakan pentingnya untuk mendorong terbentuknya ‘pola pikir kewirausahaan’ di semua tingkatan pendidikan – dimulai dari sekolah. Dalam laporan ini juga, beliau mengatakan bahwa budaya populis memandang para wirausahawan sebagai seorang jenius yang licin yang berhasil sukses di dunia bisnis ‘tanpa berbekal pendidikan atau hanya aji mumpung saja’ merupakan anggapan yang sama sekali tidak benar. “Jika kita tidak bisa mengajarkan kewirausahawan, maka kita hanya bisa mengenali mereka yang terlahir sebagai usahawan; dan mundur dan membiarkan ketika mereka melakukan perubahan.”

“Akan tetapi, negara-negara di seluruh penjuru dunia tidak sabar untuk menunggu lahirnya sosok yang berhasil menaklukkan kesempatan yang hanya terjadi sekali seumur hidup ini. Mulai dari Amerika Serikat hingga Korea Selatan, memupuk keterampilan kewirausahaan telah menjadi prioritas nasional, dengan ditunjang oleh tenaga, ambisi, dan imajinasi yang dimiliki.”

Beliau juga menambahkan bahwa meski universitas kini fokus mengembangkan hal ini, sekolah juga perlu ikut serta. “Jika siswa memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi dengan pola pikir yang sudah terlanjur kaku, kemungkinan besar mereka tidak akan memperhatikan atau menyambut kesempatan yang muncul. Kamu tidak membuat kue dengan menaruh lapisan gula pada batu bata.’

Apa yang terjadi di belahan dunia lain?

  • Sebuah badan amal di Inggris bernama Young Enterprise mengadakan Fiver Challenge atau Tantangan Lima Pound untuk siswa sekolah dasar, dimana setiap siswa diberikan £5 (atau sekitar $10). Siswa ditantang untuk mendirikan usaha kecil-kecilan miliknya sendiri, mereka dibebaskan untuk menciptakan sebuah produk atau menawarkan jasa yang dapat dijual atau disediakan untuk memperoleh keuntungan. Setelah satu bulan berlalu, mereka lalu diminta mengembalikan dana awal yang mereka terima – beserta sumbangan warisan’ sebesar 50 pence ($1) untuk membantu agar program ini terus berjalan – dan diperbolehkan mengambil sisa keuntungan yang didapat.
  • Salah satu pemenang ajang penghargaan WISE (World Innovation Summit for Education) untuk tahun 2015 adalah sebuah proyek di Uganda yang fokus pada pengembangan keterampilan kepemimpinan dan kewirausahawan. Negara Afrika Timur ini sudah sejak lama memasukkan kewirausahaan ke dalam kurikulum pendidikannya. Proyek Educate! Experience merupakan proyek yang melibatkan sekolah menengah pertama dan telah menjangkau hingga lebih dari 90.000 siswa dalam kurun waktu lima tahun.
  • Laporan dari The Chief Scientist’s juga menyoroti usaha pemerintah Korea Selatan – dimana inisiatif bertemakan Ekonomi Kreatif Korea memasukkan pendidikan kewirausahawan ke dalam sistem pendidikan bagi siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi. Inisiatif serupa juga ditemukan di Singapura, dimana ada beberapa program yang bertujuan mengembangkan pendidikan kewirausahawan di tingkat sekolah. Disamping Korea Selatan dan Singapura, Colin Kinner, selaku penulis laporan ini sekaligus Direktur dari Spike Innovation, juga mencontohkan Israel dan Amerika Serikat sebagai negara yang menawarkan program kewirausahawan di tingkat sekolah.

Laporan yang disusun Colin Kinner ini juga memuat buah pikiran dari Bill Bartee, mitra di Blackbird Ventures. “Anak-anak perlu mengetahui bahwa untuk memulai dan membangun suatu bisnis bisa jadi hal yang menyenangkan, sebuah pilihan jalan hidup yang membanggakan,” ujar beliau. “Pendidikan mengenai bagaimana cara menjadi seorang wirausahawan harus dimulai sedini mungkin di rumah dan di sekolah ketika anak pertama kali mendirikan kios limun mereka di pinggir jalan…”

Bill mengutip sebuah studi (Huber, Sloof & van Praag, 2012) yang membahas mengenai pengaruh program kewirausahaan di sekolah dasar terhadap keterampilan dan tingkah laku siswa yang ikut serta. ‘[Studi itu] menemukan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan dari program kewirausahaan dini terhadap keterampilan siswa, diantaranya kegigihan, kreativitas, dan sifat yang proaktif.”

Bicara seputar praktik terbaik di sekolah, Bartee mengungkapkan:”[Program yang baik adalah] yang berhasil mendorong anak bertanya pada dirinya sendiri ‘Apa yang ingin kamu ciptakan?’ ketimbang ‘Kelak kamu mau jadi apa?’, dan mampu mengajarkan siswa untuk jeli melihat peluang yang ada daripada mengajarkan mereka materi pelajaran yang rumit.”

Referensi

Huber, L.R., Sloof, R., & van Praag, M. (2012) The effect of early entrepreneurship education, Institute for the Study of Labor, Discussion Paper No. 6512.

Office of the Chief Scientist, (2015). Boosting High-Impact Entrepreneurship in Australia: Spike Innovation.

Artikel ini pertama kali didistribusikan kepada anggota Komunitas Belajar Sekolah Teacher pada tahun 2015.

Dengan cara apa Anda mendorong terbentuknya pola pikir kewirausahaan di ruang kelas?

Pertimbangkan ragam contoh implementasi di beberapa negara lain seperti yang disebutkan di atas. Bagaimana Anda bisa mengadaptasi inisiatif tersebut agar berguna bagi siswa Anda?