Tanya-jawab kepemimpinan: Lesson study – mengembangkan budaya belajar

Dalam tanya-jawab kepemimpinan hari ini, Editor majalah Teacher, Jo Earp berbicara dengan Ibu Sri Sulastri, Kepala Sekolah SD GagasCeria di Bandung, Indonesia, tentang bagaimana menciptakan budaya yang menyenangkan bagi proses belajar serta pengembangan guru menggunakan pendekatan Lesson Study.

Dapatkah bercerita sedikit kepada para pembaca tentang SD GagasCeria?

SD GagasCeria berdiri pada tahun 2005. Usia anak-anak yang masuk berkisar antara enam sampai 12 tahun. Sekolah kami berlokasi di Bandung (sekitar 150 kilometer dari Jakarta). Secara umum lokasi tempat tinggal anak-anak kami tidak terlalu jauh dari sekolah, di sekitar Buah Batu, Antapani, Soekarno Hatta, dan mungkin yang terjauh adalah di wilayah Kopo. Kami memiliki sekitar 330 siswa dari kelas 1-6, dengan dua kelas di masing-masing level, sehingga total terdapat 12 kelas. Ada sekitar 33 orang guru yang mengajar dari kelas 1-6.

Apa peran Anda dan sudah berapa lama Anda berada di sekolah ini?

Saya adalah Kepala Sekolah SD GagasCeria. Saya memegang posisi ini sejak tahun lalu, sehingga ini adalah tahun kedua saya menjadi kepala sekolah.

Saat kami berkunjung tahun lalu, Anda menyebutkan bahwa sekolah memberikan perhatian ekstra pada perkembangan profesional dari guru dan staf. Satu hal yang Anda lakukan adalah Lesson Study. Sejak kapan sekolah mulai menggunakan metode ini dan bagaimana kondisi pengajaran di sekolah sebelumnya?

Misi sekolah kami adalah:

  • menjadikan sekolah sebagai salah satu komunitas belajar yang inovatif dan inspiratif
  • mengembangkan budaya belajar dimana setiap individu adalah subjek yang melakukan proses belajar bermakna secara aktif dan reflektif

Kami ingin agar SD GagasCeria dapat menjadi sekolah inovatif pilihan yang mampu membimbing seluruh siswanya agar berkembang bersama seluruh komponen sekolah dan lingkungan serta memiliki kesadaran diri akan pentingnya belajar. Kami berharap siswa kami mampu berkembang secara utuh sehingga dapat berkontribusi untuk kehidupan Indonesia yang lebih bermakna.

Visi dan misi adalah dasar utama dari sekolah kami. Kami memberi perhatian yang sangat besar terhadap pengembangan dan pelatihan guru, karena guru yang baik akan berdampak baik pula bagi pembelajaran anak-anak. Salah satu program pelatihan dan pengembangan guru-guru dilakukan melalui Lesson Study (LS). LS yang sudah kami lakukan sejak 2008 yang lalu adalah pendekatan yang sangat baik sebagai ajang belajar kami semua. Pendekatan ini memungkinkan kami untuk membuka kelas-kelas untuk tempat belajar bersama dan melihat langsung proses nyata di lapangan tentang aplikasi ilmu-ilmu yang sudah didapat di sekolah tanpa perlu mengeluarkan biaya serta bisa dilakukan kapan pun sesuai kebijakan sekolah. Yang penting juga LS itu membangun kesetaraan belajar (bahwa semua bisa belajar dari siapapun, yang baru bisa belajar dari yang lama, begitupun sebaliknya yang lama bisa belajar dari yang baru), siapapun bisa belajar dari siapapun.

Tahun 2008 saat kami pertama kali menerapkan LS, sekolah kami baru berusia 3 tahun. Siswa yang ada baru sampai level kelas 3, belum ada kelas 4, 5 dan 6. Guru-guru kami seluruhnya masih baru dan muda. Sekolah baru, guru baru, belum banyak pengalaman mengajar, namun memiliki semangat belajar yang tinggi. Bagi kami, penerapan LS adalah salah satu keputusan yang tepat di momen yang juga tepat untuk memfasilitasi kebutuhan belajar guru-guru kami.

Pada 1-2 tahun pertamana pelaksanaan LS, kami memiliki cara pikir “just do it”, tahun-tahun dimana kami pertama mengenal dan memahami apa itu LS, kami juga belajar melihat hal-hal yang dapat kami amati di kelas saat proses belajar. Kami berfokus pada bagaimana guru mengelola kelas dan pembelajaran, serta bagaimana pembelajaran yang baik dari sudut pandang guru mengajar (a good lesson according to teacher’s perspective).

Metode Lesson Study tradisional meliputi banyak tahap-tahap persiapan (dari perencanaan, observasi untuk mempertajam pengajaran, hingga proses refleksi dengan staf lainnya) — metode yang dilakukan oleh sekolah Anda dapat saja sedikit berbeda — dapatkah Anda menjelaskan tahapan-tahapan aplikasi di sekolah Anda dan apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tahap-tahap tersebut?

Jika melihat perjalanan Lesson Study kami dari mulai tahun 2008 sampai dengan 2019, kami banyak mengalami pergeseran khususnya dalam hal paradigma tentang bagaimana kami melihat dan memaknakan serta melaksanakan LS kami agar lebih baik. Di awal implementasi, orientasi kami adalah memperbaiki cara guru mengajar, selanjutnya orientasi kami bergeser lebih kepada kepentingan siswa, tentang bagaimana membuat dan memastikan siswa belajar dengan lebih baik.

Secara tahapan, kami sama-sama melakukan siklus Plan-Do-See (perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi) di kedua tahapan. Yang membedakan dari tahun ke tahun adalah bagaimana kami terus melakukan perbaikan di masing-masing bagiannya. Saya coba jelaskan melalui gambar berikut:

Siapa saja yang terlibat dalam proses ini? Apakah semua guru dan pimpinan sekolah terlibat?

Guru-guru dan pimpinan sekolah (ketua yayasan, direktur sekolah, kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah) seluruhnya terlibat dalam implementasi LS.

Sebagai pimpinan sekolah, kami mencoba mengeluarkan kebijakan terkait pelaksanaan Lesson Study ini, yaitu:

  • Mlakukan pengaturan jadwal LS (khususnya untuk sesi observasi atau open lesson dan sesi refleksi) untuk memastikan akan sebanyak-banyaknya guru yang bisa hadir dalam kegiatan ini.
  • Membentuk kelompok-kelompok guru sebagai tim belajar (biasanya dikaitkan dengan mata pelajaran).
  • Keikutsertaan guru dalam LS berdampak terhadap penambahan poin pengembangan guru.
  • Melakukan pengaturan di kalender akademik sekolah untuk LS dan supervisi. Kami melihat LS bukan ajang untuk penilaian seperti halnya monitoring. LS adalah momen belajar, bukan penilaian.
  • Dalam 1 semester kami membuka 2 kali sesi buka kelas, yaitu di semester 1 dan di semester 2, untuk memastikan momen belajar cukup untuk semua guru.
  • Dalam 2 tahun terakhir, LS menjadi salah satu program strategis sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran anak.
  • Pimpinan sekolah ikut terlibat dalam setiap sesi dalam siklus LS (terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi).
  • Untuk lebih meningkatkan kualitas LS yang kami lakukan dan memanfaatkan LS untuk sesi belajar kami, maka LS-LS kami seringkali didampingi oleh ahli-ahli LS baik dari dalam maupun luar negeri. Para ahli ini akan terlibat penuh dalam proses LS dari awal sampai akhir.
  • Pimpinan sekolah maupun guru secara rutin mengikuti konferensi-konferensi LS baik di dalam maupun luar negeri (ICLS - International Conference on Lesson Study; WALS - World Association of Lesson Studies), baik sebagai peserta maupun sebagai narasumber.

Apakah metode ini hanya digunakan untuk beberapa aspek dalam kurikulum/mata pelajaran tertentu? Atau apakah SD GagasCeria memilih fokus yang berbeda untuk setiap periode tertentu/untuk setiap staf yang berbeda?

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, dari tahun ke tahun kami selalu mengevaluasi dan merefleksikan setiap kegiatan LS kami agar semakin baik dan betul-betul sesuai dengan tujuan yang kami harapkan.

Selama beberapa tahun implementasi ini, kami melihat bagaimana semua guru perlu memiliki pengalaman untuk melakukan proses belajar mengajar di kelas yahg terbuka, sehingga selama beberapa tahun kami mewajibkan semua guru untuk membuka kelasnya minimal 1 kali dalam 1 tahun untuk semua mata pelajaran.

Kami menyadari bahwa merencanakan pembelajaran itu tidak mudah, perlu waktu, dan perlu ide-ide dari anggota tim untuk terlibat langsung dalam perencanaanya. Keinginan kami adalah untuk lebih fokus ke kualitas dan bukan kuantitas. Melihat ini, kami menyusun agar pertama-tama hanya satu guru dari tiap level saja membuka ruang kelasnya. Misalnya, satu guru dari tim guru matematika kelas rendah dan satu guru dari tim guru matematika kelas atas. Anggota tim yang lainnya akan membantu sebagai tim perencana dan menyiapkan proses buka kelas dari guru yang sedang menjadi model.

Kami juga melihat adanya kebutuhan yang lain yaitu bagaimana guru dapat memperbaiki pembelajaran dalam satu materi tertentu dari tahun ke tahun. Bagaimana materi ini di tahun depan dengan anak-anak yang berbeda, dapat diberikan dengan lebih baik daripada tahun sekarang. Oleh karena itu, kami juga pernah melakukan LS dengan materi yang sama setiap tahunnya untuk diajarkan kepada anak selama 3 tahun berturut-turut, pastinya dengan anak yang berbeda. Misalnya: materi tentang volume bangun ruang di Matematika; tahun 2017 guru melakukan LS untuk materi ini. Di tahun depannya yaitu 2018, hasil evaluasi dan refleksi LS tahun 2017 lalu, kami gunakan untuk melakukan perencanaan lebih baik di tahun 2018 untuk materi yang sama. Selanjutnya di tahun 2019, guru membuka kelasnya kembali untuk materi yang sama. Nah, dari contoh di atas, diharapkan kami dapat menemukan formula yang paling efektif untuk anak dalam memahami materi volume bangun ruang di pelajaran Matematika. Kami menyebut proses ini sebagai Lesson study tiga siklus.

Di awal-awal kami melaksanakan LS, semua kelas dibuka dengan topik LS yang beragam yang keputusannya diserahkan kepada masing-masing guru. Kemudian kami melihat ada kepentingan bahwa LS harus menjadi sebuah ajang riset bagi guru dalam memecahkan masalah-masalah di kelas. Sehingga di beberapa tahun terakhir kami mengumpulkan data di kelas, hal apa saja yang ingin ditingkatkan lebih baik, apa yang masih menjadi kendala dalam proses belajar anak, apa yang menghalangi ketercapaian tujuan belajar yang diharapkan, dan lain-lain. Dari sini kami berdiskusi dan menyepakati hal yang akan menjadi topik LS kami yang secara umum dapat mewakili kebutuhan-kebutuhan dari setiap kelas. Misalnya kami pernah menyepakati topik riset kami adalah tentang “listening skill". Topik ini kemudian menjadi ruh dalam pelaksanaan LS kami. Kami mendatangkan ahli yang memahami tentang listening skill ini, lalu di akhir proses, kami akan menulis refleksi dari hasil belajar kami tentang listening skill.

Bagaimana umpan balik yang diberikan oleh staff tentang proses ini? Apakah mereka menikmati metode ini? Sebab menjadi objek observasi orang lain dan mendapatkan kritik secara terus menerus tentu dapat terasa mengintimidasi bagi beberapa orang.

Di awal-awal satu-dua tahun pertama, dengan LS yang masih berfokus pada guru, tentu saja LS menjadi suatu hal yang membuat guru-guru khawatir. Khawatir akan masukan atau feedback yang diberikan, karena merasa akan ‘dinilai.’ Namun tahun-tahun berikutnya dengan sudah adanya pergeseran paradigma atau sudut pandang kami tentang LS, kini LS menjadi bagian sudah biasa dilakukan, dijalani, sebagai ajang belajar bagi semua. LS saat ini telah menjadi ajang belajar, bukan ajang penilaian. Kerangka pikir ini yang membuat guru-guru pada akhirnya lebih nyaman dan menikmati proses LS.

Apa manfaat yang telah Anda rasakan dari Lesson Study? Bagaimana bentuk peningkatan yang terjadi dalam praktik mengajar di sekolah?

Beberapa manfaat yang kami rasakan adalah:

  • Membantu membangun paradigma (cara berpikir) tentang hakikat peran guru yang sesungguhnya. “Anak murid” sesungguhnya adalah tujuan kita dalam mengajar. Bagaimana memastikan anak belajar, bagaimana anak-anak memunculkan perilaku yang diharapkan setelah belajar, bagaimana menjadikan anak sadar belajar, dll.
  • LS adalah alat yang powerful untuk membangun komunitas belajar dan pengembangan profesionalisme guru.
  • LS dirasakan betul bukan alat untuk mencari dan menemukan proses pembelajaran yang sempurna, karena sesungguhnya tidak ada yang namanya pembelajaran yang sempurna. Proses belajar mengajar sesungguhnya akan selalu menyediakan celah untuk perbaikan agar kita sama-sama dapat belajar. Hal ini yang seyogyanya membuat kita ingin terus belajar dan belajar untuk pembelajaran anak-anak yang lebih baik.
  • LS melatih cara berpikir guru dalam memahami cara atau proses berpikir anak.

Bentuk peningkatan dalam praktik mengajar antara lain:

  • Bertambahnya wawasan dan ilmu tentang metode-metode pembelajaran yang bisa diaplikasikan di kelas. Hasil-hasil belajar yang diperoleh selama LS, diterapkan dalam pembelajaran di kelas-kelas.
  • LS meningkatkan kemampuan guru-guru dalam melakukan perencanaan pembelajaran. Perencanaan-perencanaan yang dilakukan, lebih komprehensif mempertimbangkan banyak hal, seperti alat bahan belajar, prediksi respon-respon anak di kelas, metode mengajar, bagaimana mengembangkan kolaborasi di anak, bagaimana memberikan apersepsi di awal pembelajaran, spiral kurikulum di mata pelajaran, bagaimana membuat pertanyaan-pertanyaan di kelas, dll.
  • Diskusi-diskusi tim terkait pembelajaran, mulai dari perencanaan sampai evaluasi.
  • Tulisan-tulisan yang dihasilkan guru terkait evaluasi dan refleksi pembelajaran, lebih dalam dan tajam melihat dari sudut pandang anak.
  • Inisiatif-inisiatif guru muncul dalam bentuk tulisan-tulisan, paper, atau dalam bentuk inisiatif mengikuti kegiatan seminar nasional atau internasional dengan menjadi peserta atau narasumber untuk tema-tema LS.

Bagaimana dampak dari COVID-19 terhadap perkerjaan Anda serta guru-guru di sekolah?

Salah Satu yang kami tidak lakukan di semester dua tahun ajaran 1920 ini adalah Lesson Study. Di semester dua ini, kami baru saja merencanakan pelaksanaan LS, namun dikarenakan adanya pandemi yang menyebabkan anak-anak belajar dari rumah, LS tidak dapat dilaksanakan. Kami juga sebenarnya sudah sempat meminta pendampingan dari ahli, yaitu seorang guru besar UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) untuk menjadi konsultan dalam LS tahun kemarin. Namun, program akhirnya belum dapat dilaksanakan.

Kami tetap berupaya untuk memastikan program pengembangan dan pelatihan profesional guru tetap dapat dilakukan dalam bentuk yang lain, pastinya lebih banyak melalui sesi-sesi daring, baik dengan narasumber dari internal sekolah, maupun dari luar.

Seberapa sering Anda menyempatkan diri untuk mengkritisi suatu pelajaran yang Anda telah berikan kepada siswa? Pertimbangkanlah hal-hal yang dapat Anda ubah untuk meningkatkan kualitas bentuk pembelajaran.