Ratusan guru berkumpul di koridor di luar sebuah ruang kelas, mendengarkan secara seksama dan bergantian saling menjulurkan leher untuk mengintip pelajaran yang sedang berlangsung di dalam kelas itu.
Selama lebih dari seabad, lesson study (jugyou kenkyuu) telah menjadi bagian penting dalam proses pelatihan guru di Jepang. “Metode ini berawal ini tahun 1890an dan berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki afiliasi dengan Normal Schools — istilah untuk menyebut universitas pendidikan guru,” ujar Profesor Yoshinori Shimizu kepada Teacher.
“Terdapat dua jenis program pengembangan professional yang diajarkan sejak awal — pengajaran kritisisme dan kelas model. Dalam sebuah pengajaran kritisisme, guru diobservasi oleh banyak orang dan pelajaran yang disampaikan kemudian didiskusikan secara intensif dan ekstensif. Pelaksanaan kelas model digunakan untuk mendemonstrasikan beberapa model pelajaran bagi para guru yang melakukan observasi. Guru-guru ini kemudian kembali ke sekolah mereka sendiri dan melakukan hal yang sama, kali ini sebagai contoh. Demikianlah yang terjadi di tahun 1890an, sekarang sudah beda.”
Shimizu menjelaskan, saat ini ada banyak tipe aktivitas studi pengajaran dalam hal konteks, fokus, dan ukuran — intra-sekolah (di sekolah-sekolah dasar dan beberapa sekolah menengah), dalam seluruh distrik sekolah atau kota, dalam tingkat provinsi dan kegiatan nasional di mana ribuan guru mengunjungi sebuah sekolah untuk mengobservasi dan berdiskusi.
“Saya punya foto seorang guru, sedang mengajar 30 siswa, dan mereka dikelilingi oleh ratusan guru lain. Beberapa dari guru-guru tersebut bahkan tidak dapat melihat seperti apa pelajarannya, mereka cuma mendengarkan suara guru dan siswa yang sedang dijadikan contoh demi dapat belajar sesuatu.”
[Kerumunan guru di luar sebuah ruang kelas saat acara lesson study di Jepang. Gambar: Disediakan]
“Dalam suatu kegiatan nasional, terkadang jumlah penonton bahkan mencapai 5000 orang. Mereka semua sangat bersemangat untuk belajar dari guru-guru yang populer; yang legendaris, mereka punya CD sendiri dan banyak buku dan foto-foto jurnal tentang pengajaran mereka.”
Shimizu, asal Universitas Tsukuba di Jepang, menambahkan bahwa meskipun acara berskala besar tersebut dilangsungkan hanya selama satu hari, lesson study ditanamkan dalam budaya mereka dan juga menjadi sesuatu yang sifatnya reguler pada tingkatan sekolah individu, di mana kebanyakan gurunya pernah berpartisipasi dalam kegiatan serupa setidaknya sekali dalam satu term. “Beberapa sekolah dalam setiap distrik ditugaskan sebagai sekolah contoh dan diberikan sejumlah kecil uang dari distrik atau kota tersebut untuk menjalankan beberapa pekerjaan bertipe-riset. Dimensi lain dari lesson study adalah guru-guru baru [sebagai bagian dari program induksi mereka] hendaknya mencoba mengajar di hadapan guru yang berpengalaman untuk mengembangkan kemampuan mengajar mereka.”
Apa saja yang termasuk di dalam lesson study?
James Stigler dan James Hiebert menulis dalam buku mereka yang terbit di tahun 1999, The Teaching Gap, mengenai lesson study di sebuah sekolah dasar di Jepang. “Premis dibalik lesson study sesungguhnya sederhana saja: jika Anda ingin meningkatkan kemampuan mengajar Anda, tempat paling efektif untuk melakukannya adalah dalam konteks ruang kelas. Jika Anda mulai dengan pengajaran Anda di kelas, Anda tidak menemukan masalah mengenai bagaimana cara mengaplikasikan hasil-hasil riset Anda di sana.
“Peningkatan Anda mula-mula dibentuk dalam area ruang kelas. Tantangannya kini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis perubahan yang dapat mengembangkan pembelajaran siswa di ruang kelas dan, ketika perubahan tersebut telah diidentifikasi, Anda membagikan pengetahuan Anda kepada guru-guru lain yang di ruang kelas mereka juga menghadapi masalah yang sama, atau memiliki tujuan yang sama.”
Stigler dan Hiebert mendeskripsikan langkah-langkah dalam proses lesson study:
- Menentukan masalah — misalnya, tujuan Anda mungkin dapat berupa bagaimana agar siswa lebih tertarik dengan pelajaran, atau bagaimana cara mengajarkan kepada mereka beberapa kemampuan tertentu.
- Merencanakan pelajaran — mulailah dengan menilik buku dan artikel yang ditulis oleh guru-guru lain yang telah mempelajari masalah serupa. Stigler dan Hiebert menjelaskan bahwa “tujuannya bukan hanya untuk memberi siswa pengajaran yang efektif, namun juga agar Anda memahami mengapa dan bagaimana pelajaran Anda akan dapat membuat siswa-siswa Anda mencerna dengan lebih baik.
- Mengajar — satu orang guru mengajar dan guru-guru lain mengobservasi.
- Mengevaluasi pelajaran dan merefleksikan efek-efeknya terhadap siswa — dalam langkah ini, fokusnya adalah kepada pelajaran itu sendiri, bukan kepada guru yang mengajarkannya.
- Merevisi pelajaran — bahaslah di mana ketidakpahaman siswa, dapat dengan memikirkan kembali aktivitas, soal-soal dan sumber yang Anda gunakan terhadap mereka.
- Mengajarkan pelajaran yang telah direvisi — kali ini dilakukan di ruang kelas yang berbeda dan oleh guru yang berbeda dalam grup Anda. Anggota lain dalam jajaran staf sekolah juga dapat hadir.
- Mengevaluasi dan merefleksi sekali lagi — libatkanlah staf-staf lain dan mungkin juga beberapa ahli. Sekali lagi, guru yang telah mendapat giliran mengajar akan memimpin diskusi melalui sudut pandang mereka sendiri tentang apa yang telah dilalui di kelas; pelajaran dikritik dan saran-saran akan perubahan dalam belajar dan mengajar juga disampaikan. Pertanyaan kunci pada tahap ini adalah, “apa yang telah dipelajari?”
- Membagikan hasil diskusi — bagi guru-guru di Jepang, tahap ini dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam proses lesson study. Mereka mungkin akan menulis laporan mengenainya, sering kali bahkan menerbitkan buku untuk digunakan di satu sekolah, atau dapat juga membagikan hasilnya dalam skala yang lebih besar (tingkat prefektur atau melalui penerbit profesional jika proses kolaborasinya juga melibatkan seorang akademisi). Guru-guru dari sekolah lain juga mungkin dapat diundang untuk mengobservasi pelajaran yang final. Buku The Teaching Gap juga menjelaskan bagaimana satu sekolah menyelenggarakan “pekan raya pelajaran” di akhir tahun.
Sebuah pendekatan terperinci mengenai proses perencanaan
Guru-guru di seluruh dunia sudah familiar akan proses perencanaan, namun pendekatan lesson study di Jepang membawa elemen tersebut ke tingkat yang sama sekali lain.
Profesor Shimizu adalah mantan anggota Mathematics Expert Group (Kelompok Ahli Matematika) untuk OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development/Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi) dan PISA (Programme for International Student Assessment/Program Penilaian Siswa Internasional). Ia menceritakan bagian favoritnya dalam buku The Teaching Gap: “Buku ini sangat menarik. Para guru dengan sangat bersemangat membahas tentang mana yang lebih baik—12 kurang 3 atau 12 kurang 4, apabila topiknya perkenalan terhadap pengurangan matematika. Mereka menghabiskan banyak waktu menentukan angka mana yang lebih baik untuk membantu siswa memahami serta untuk guru yang mengajar; dibahas dari sudut pandang matematika serta suduh pandang edukasional, mana yang lebih baik? Hal sekecil itu dapat menjadi target dari lesson study. Terkadang ketika sebuah keterampilan umum ditekankan di sekolah — misalnya kolaborasi atau komunikasi, perkenalan tugas kelompok atau tugas berpasangan — ini dapat menjadi topik lesson study. Atau topiknya bisa juga tentang pemecahan masalah/problem-solving.
Pada contoh di atas, demikian halnya diskusi tentang penyusunan kata-kata dalam soal atau angka mana yang akan digunakan, para pendidik juga menggunakan waktu mereka dengan: mengantisipasi solusi, jawaban, dan pertanyaan dari siswa; memikirkan bagaimana mereka akan mengorganisasi dan menggunakan papan tulis mereka (yang di Jepang dianggap sebagai bagian penting dalam penyusunan cara berpikir dan pemahaman siswa); dan mendiskusikan pembagian waktu pelajaran secara terperinci. Proses lesson study dapat berlangsung selama berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan. Dalam beberapa kasus, guru-guru bahkan dapat saja mengerjakan satu pelajaran selama setahun.
Sebagai tambahan dari menyaksikan pelajaran final, “oleh-oleh” yang umum didapat oleh mereka yang diundang untuk mengobservasi termasuk di dalamnya, salinan rencana pelajaran, perkiraan respons siswa, dan ide-ide pengajaran yang dapat dibawa pulang ke sekolah mereka masing-masing dan dibagikan kepada kolega lain.
Apa saja manfaatnya dan mengapa cara ini berhasil?
Stigler dan Hiebert mencatat bahwa, dibanding untuk mereformasi, tujuan dari lesson study adalah untuk menghasilkan “perbaikan yang kecil dan bertahap selama periode waktu yang panjang” dan betapa pun lamanya proses tersebut, tetap harus ada “fokus yang tak putus terhadap pembelajaran siswa.”
“… Melalui proses perbaikan pelajaran dan berbagi pengetahuan yang telah didapat kepada sesama guru, sesuatu yang luar biasa kemudian terjadi kepada para guru tersebut: mereka mulai memandang diri mereka sendiri sebagai profesional sejati. Mereka melihat bahwa diri mereka sendiri telah berkontribusi terhadap basis pengetahuan yang mendefinisikan profesi guru. Dan mereka memandangnya sebagai bagian integral dari apa arti menjadi seorang guru.” Pada akhirnya, Stigler dan Hiebert berkata bahwa lesson study merupakan aktivitas guru sehingga sukses tidaknya tergantung kepada guru-guru sendiri tersebut.
Selama kurang-lebih 15 tahun terakhir, sekolah dan sistem edukasi di seluruh dunia telah mulai mengimplementasikan versi mereka sendiri untuk mendukung pembelajaran profesional staf. Profesor Shimizu berkata, di negara di mana sistem ini berasal, lesson study tetap menjadi sebuah “bagian hidup” bagi setiap pendidik. “Dari luar, hal ini dipandang sebagai suatu cara pengembangan profesional, namun menurut sudut pandang kami orang Jepang, hal ini merupakan bagian dari tugas seorang guru.”
Referensi dan bacaan lebih lanjut
Lewis, C. C. (1995). Educating hearts and minds: Reflections on Japanese preschool and elementary education. Cambridge University Press.
Stigler, J. W., & Hiebert, J. (1999). The Teaching Gap: Best ideas from the world's teachers for improving education in the classroom. Simon and Schuster.
Seberapa sering Anda menyisihkan waktu untuk mengkritisi pelajaran yang telah Anda sampaikan? Pertimbangkanlah hal-hal yang ingin Anda ubah untuk meningkatkan pengajaran yang telah terjadi.
Ketika Anda merencanakan sebuah pelajaran, apakah Anda memikirkan kemungkinan bahwa siswa tidak akan memahami topik yang diajarkan dan bagaimana Anda akan mengatasinya?