Kepemimpinan sekolah: Ketika harapan positif bukan lagi pendekatan terbaik

“Bagaimana Anda bersikap pada seorang pemimpin yang terus menerus berpegang pada optimismenya, hanya demi menghindari masalah nyata yang sedang terjadi di sekolah dan komunitas tempat Anda bekerja, sebab jauh lebih mudah untuk menyangkal adanya masalah? Adakah cara untuk terus bersikap positif dalam suatu kepemimpinan, sambil tetap memperlihatkan bahwa Anda dapat pula mengatasi isu yang kerap terjadi dalam keseharian di ruang lingkup pendidikan?"

Pertanyaan ini dikemukakan oleh pembaca Teacher, yang belum lama ini saling membagi pengalaman mengenai rasa frustasinya terhadap fenomena di atas. Sambil melakukan refleksi mengenai sulitnya bekerja dengan seseorang yang terus memilih untuk memberikan pandangan yang positif terhadap segala sesuatu, pembaca kami menambahkan: “Apakah berarti pendapat kita (sendiri) menjadi kurang bernilai jika tidak bermuatan positif?"

Kami berdiskusi dengan Professor Brock Bastian – psikolog sosial di Universitas Melbourne dan penulis buku The Other Side of Happiness – mengenai apa yang akan terjadi Jika sikap positif telah melewati batasan yang wajar, dan bagaimana cara terbaik untuk bekerja dengan seseorang yang menolak untuk mengakui adanya suatu masalah.

Ia melihat, dengan mulai kembalinya orang-orang ke lingkungan kerja setelah sekian lama berada dalam periode pembatasan sosial selama pandemi, terdapat suatu kecenderungan bagi manager dan pimpinan di lingkungan kerja untuk bersikap ceria dan bersemangat demi meningkatkan semangat para staf. “Sikap positif semacam ini tentu baik, selama tidak bertolak belakang dengan pengalaman para staf dan selaras dengan apa yang mereka rasakan pada saat itu."

Percakapan yang jujur dan terbuka

“Jika dibiarkan, sikap yang hanya membuka pintu kepada hal-hal positif semacam ini akan berujung pada moral kantor yang tidak otentik, atau kesan terlarang untuk menyatakan sesuatu kecuali yang bersifat positif. Jika terus berlanjut, keadaan ini akan menciptakan lingkungan kerja yang sunyi dan tidak memilliki kemampuan untuk mengatasi isu dan tantangan yang kerap hadir,” jelas Bastian.

Lingkunan kerja yang kurang terbuka tentu bukan situasi yang ideal bagi pemimpin manapun, termasuk kepala sekolah – Anda tentu ingin mengetahui semua tantangan yang dihadapi oleh staf Anda, juga mengetahui kesulitan yang mereka hadapu. Para akademisi menyatakan betapa pentingnya memiliki percakapan yang jujur serta terbuka mengenai topik-topik yang sifatnya negatif dan membuat staf merasa tidak nyaman, sebab hanya dengan mengetahui hal itulah Anda dapat mulai memikirkan dukungan semacam apa yang dapat Anda tawarkan untuk mereka.

“(Membuka percakapan tentang hal negatif) tidak serta-merta membuat Anda tidak dapat lagi berupaya untuk bersikap positif dan menjari jalan keluar dari masalah yang ada. Saya merasa, beberapa orang khawatir bahwa [dan ini adalah kepercayaan yang semakin tidak populer] jika Anda mulai memerhatikan hal-hal serta perasaan yang sifatnya negatif, maka Anda telah membuka kotak Pandora dan segala hal di sekeliling Anda yang awalnya baik-baik saja akan serta merta hancur dan semua orang akan merasa Amat sangat depresi. Tentu hal ini tidak perlu ditakuti. Justru sebaliknya, semakin Anda berpikir dengan cara tersebut, maka bukan tidak mungkin Anda juga akan semakin menghindari dan berupaya menekan kemungkinan terjadinya percakapan terbuka semacam ini, dan kami melihat bagaimana hal ini cenderung membawa efek yang tidak diinginkan – segalanya akan bertambah buruk.

“Jadi, jika Anda berharap dapat berdiskusi mengenai hal-hal semacam ini dengan nyaman, teruslah berupaya untuk mencari tahu, dan merasa tertarik tentang apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang-orang sekitar dan biarkan mereka terbuka dengan apa yang dirasakannya. Tentu tidak berarti bahwa kita menginginkan anggota tim untuk terus murung sembari melakukan pekerjaannya sebab hal tersebut akan menghambat proses kerja, namun keterbukaan untuk menunjukan perasaan yang otentik di tempat kerja akan membantu seseorang untuk merasa bahwa kolega dan atasannya memahami dan menghargai beratnya situasi yang sedang ia rasakan.

“Kita dapat berusaha untuk lebih peka sebelum mengatakan ‘bukankah sangat menyenangkan bahwa kita semua kembali bersama di sini, saya sangat menantikan saat-saat ini dan berharap Anda juga merasakan hal yang sama’ – sebab kalimat tersebut tidak menyisakan ruang untuk lebih mendengarkan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain, tidak ada satupun orang yang mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya, dan sebagai pemimpin kita hanya akan memposisikan diri sebagai pihak yang menuntut mereka untuk masuk ke dalam ruang positif yang kita harapkan mereka tempati, sambil berharap bahwa hal itulah yang paling baik untuk semua staf, yang kerap kali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada."

Apa yang diindikasikan harapan positif yang berlebih?

Bastian melihat bahwa kita kerap memaksakan perasaan positif (atau optimisme). Sikap semacam ini seringkali mengindikasikan ketidaknyamanan yang kita rasakan jauh di dalam diri – yang tidak ingin kita hadapi, segala emosi negatif dan kegelisahan. Kita ingin menekan perasaan semacam itu dan pergi dari keharusan untuk merasakan segalanya, serta melakukan sesuatu yang lain sebagai gantinya. “Hal ini bukanlah strategi bertahan yang baik – dan cenderung menghasilkan efek yang berkebalikan dari yang diinginkan.

“Sama halnya dalam kepemimpinan,” kata Bastian. “Jika kita menolak segala hal yang tidak ingin kita lihat atau hadapi, dan hanya fokus pada hal yang membuat kita nyaman, maka kita pada dasarnya telah menafikan realitas yang dihadapi oleh orang lain. Saya rasa alasan yang membuat orang bersikap seperti ini kerap adalah ketidaktahuan bagaimana cara memulai percakapan semacam ini."

Ia berkata bahwa kita perlu membantu setiap orang untuk membangun keterampilan untuk menghadapi perasaan yang aneh dan tidak nyaman yang sering dirasakan terkait isu semacam ini, serta mungkin juga ketakutan akan ‘efek kotak Pandora’, dan mulai memberanikan diri menghadapi pengalaman serta percakapan ini. Segalanya berkisar pada kemampuan untuk ‘duduk bersama dengan ketidaknyamanan’, untuk belajar dari pengalaman tersebut, dan memanfaatkannya untuk membantu kita mengambil keputusan yang baik dan maju menjalani hari ke depannya.

Menyikapi lingkaran harapan positif yang semu

Jadi, apa yang harus Anda lakukan saat bekerja dengan pemimpin sekolah yang terus bersikap super-positif (juga kolega atau sahabat) yang menolak untuk berbicara mengenai hal apapun yang sifatnya negatif atau bahkan menantang? Bastian mengatakan, dalam dinamika kepemimpinan, tentu terdapat isu mengenai otoritas, namun kita juga tidak sebaiknya mengambil keuntungan dari kekuasaan yang kita miliki, kita sebaiknya juga dapat bersikap lebih sensitif dan bersedia mendengarkan.

“Anda dapat dengan mudahnya membuka pembicaraan dengan berkata ‘saya senang bisa mengetahui apa yang sebenarnya Anda rasakan – saya sendiri juga merasa betapa sulitnya hal tersebut’. Bukalah percakapan dan berikan kesempatan pada mereka untuk mengetahui ‘tentu semua orang memiliki pengalaman yang berbeda’. Dapat Anda bayangkan bagaimana sulitnya bagi staf jika pemimpinnya terus mengatakan ‘saya ingin Anda semua hadir di sini sebagai versi terbaik kalian, teruslah pasang muka berbahagia … itulah yang diharapkan di tempat kerja ini’. Situasi ini akan menjadi sangat sulit dan sebagai pemimpin saya rasa Anda butuh mendapatkan pelatihan di sini!"

Ia berkata bahwa staf yang tidak memiliki otoritas akan merasa sulit untuk tidak mengikuti apa yang dinyatakan oleh pimpinannya, dan oleh karena itu kita perlu lebih terbuka dan jujur kepada seluruh orang di sekitar kita. Terlepas dari segalanya, kita perlu menunjukkan kepada semua orang bahwa dibolehkan untuk melakukan percakapan mengenai kekhawatiran yang dirasakan oleh mereka. “Hal ini akan membantu mereka menyadari bahwa ‘oke, sepertinya keadaan yang ingin saya sampaikan sesungguhnya tidak terlalu buruk, saya dibolehkan untuk melakukan percakapan mengenai ini dan saya mampu melakukannya’, sebab tidak satupun dari yang mereka sampaikan akan dinilai mengancam atau membebani moral kantor, dan justru menjadi cara yang baik untuk berhubungan dengan seluruh staf di kantor."

Toxic positivity

Bastian memastikan agar kita memahami bahwa sikap positif itu sendiri adalah hal yang sangat baik, dan mencari tahu apa hal yang dapat membuat kita bahagia di dunia ini adalah suatu usaha yang amat penting dilakukan. Namun tergantung dari bagaimana cara kita mengejar rasa bahagia itulah yang dapat berujung pada toxic positivity.

Bersama dengan Ashley Humphrey, ia menulis artikel yang membahas tentang toxic positivity (Bastian & Humphrey, 2021), serta riset dengan kolega mereka Rebecca Szoka mengenai pencarian kebahagiaan (Humphrey et al., 2021).

“Bagi saya, toxic positivity adalah kecenderungan di mana pencarian kita untuk menjadi manusia yang bahagia, atau fokus kita mengenai bagaimana cara berpikir positif dan berperasaan positif lalu mengubah cara kita bereaksi pada kejadian negatif,” sebutnya pada Teacher. “… sangat wajar bahwa ketika pencarian kebahagiaan menjadi hal yang sangat menekan dan kita merasa bahwa setiap kali kita tidak merasa bahagia berarti kita gagal mencapai gol hidup kita, bahwa kita mengecewakan diri sendiri dan pasti ada hal yang salah dalam diri kita."

Di sisi lain, perasaan tidak bahagia tentu adalah respon yang sangat wajar dalam situasi tertentu, misalnya krisis COVID saat ini, dengan segala ketidakpastian dan perubahan yang terasosiasi dengannya. Bastian mengatakan bahwa bagaimana kita merespon masa-masa sulit semacam ini dapat berujung masalah jika tidak dilakukan dengan bijaksana – ketika kita berpegang pada keinginan untuk menjadi bahagia sepanjang waktu.

Jalan memutar menuju akhir yang bahagia

“Dalam banyak literatur, sering digambarkan bagaimana rangkaian aktivitas atau kegiatan yang terjadi dalam hidup tokohnya tidak serta merta memberikan mereka kebahagiaan, yang mana baru pada akhirnya berbuah positif di akhir cerita.

“Rute memutar semacam ini cenderung lebih efektif, sebab bukan secara konstan menanyakan pada diri sendiri ‘apakah saya bahagia saat ini?’ dan ‘apakah hal ini memberikan kebahagiaan bagi saya?’ namun lebih seperti ‘apakah hal ini memiliki makna dan tujuan sebagaimana yang saya harapkan?’ dan begitulah hingga di tengah perjalanan, Anda menyadari bahwa keseluruhan pengalaman tersebut adalah kebahagiaan itu sendiri, sebab Anda terus terlibat dan memberikan hati Anda dalam prosesnya."

Referensi

Bastian, B., & Humphrey, A. (2021, November 1). How to avoid ‘toxic positivity’ and take the less direct route to happiness. The Conversation. https://theconversation.com/how-to-avoid-toxic-positivity-and-take-the-less-direct-route-to-happiness-170260

Humphrey, A., Szoka, R., & Bastian, B. (2021). When the pursuit of happiness backfires: The role of negative emotion valuation. The Journal of Positive Psychology, 1-9. https://doi.org/10.1080/17439760.2021.1897869

Sebagai pemimpin sekolah, bagaimana respon Anda terhadap kejadian negatif atau situasi yang sulit? Apakah Anda mampu bersikap terbuka dan melakukan percakapan dari hati-ke-hati mengenai hal tersebut? Apakah Anda tertarik mendengarkan pengalaman serta perasaan staf-staf Anda? Bagaimana hal ini akan membantu Anda sebagai pemimpin serta apa efeknya terhadap kolega atau staf Anda?