Siniar (Podcast) Edisi Spesial: Dylan Wiliam seputar tanya jawab yang efektif di kelas

Siniar dari majalah Teacher kali ini didukung oleh Australian Student Wellbeing Framework, saat ini sudah tayang di Student Wellbeing Hub! Ada lima elemen yang saling berhubungan, yang jika disatukan mampu menciptakan keamanan, kesejahteraan, dan lingkungan pembelajaran yang lebih baik. Kerangka kerja yang baru dirancang agar bermanfaat, mudah diakses, dan mudah diterapkan sesuai dengan konteks di sekolah Anda. Kunjungi www.studentwellbeinghub.edu.au

Terima kasih telah mengunduh siniar ini dari majalah Teacher, perkenalkan saya Jo Earp.

Tamu saya hari ini adalah Dylan Wiliam, Profesor Emeritus dalam bidang Penilaian Pendidikan dari University College London. Beliau sebelumnya berprofesi sebagai guru sekolah (hal ini akan dibahas lebih dalam nanti), 15 tahun terakhir karir akademiknya dihabiskan untuk mendorong pemanfaatan asesmen/penilaian untuk mendukung pembelajaran, dan saat ini beliau mendedikasikan waktunya bersama para guru di seluruh dunia dalam mengembangkan praktik penilaian formatif.

Saya bertemu beliau di Melbourne untuk berbincang mengenai proses tanya jawab yang efektif di kelas. Selama 20 menit ke depan, beliau akan menjelaskan apa yang salah dengan pendekatan guru tradisional semacam 'Saya akan bertanya dan kalian tunjuk tangan untuk menjawab', serta berbagi teknik tampilan kelas yang disebut 'tempat parkir', dan menjelaskan bagaimana merencanakan pembelajaran dengan menerapkan ‘checkpoint’ atau yang beliau sebut sebagai 'pertanyaan tumpuan’.

Jo Earp: Bapak Dylan, selalu menyenangkan bertemu Bapak. Kali ini, topik siniar yang akan kita bahas adalah seputar tanya jawab yang efektif di kelas. Terakhir kali kita bertemu di Melbourne, Bapak membagikan kiat bagi guru dan pimpinan sekolah yang ingin mengubah praktik mereka. Salah satu hal yang Bapak sebutkan dalam video tersebut adalah dalam mengubah praktik yang sudah ada, ada banyak tahapan kecil yang perlu dilalui, hanya saja terkadang guru mencoba melakukan perubahan secara drastis, akibatnya proses pengajaran yang direncanakan berantakan sehingga mereka memilih kembali ke metode yang 'aman' atau yang umum mereka kenal. Ketika berbicara mengenai tanya jawab yang efektif di kelas, satu perubahan kecil, sederhana, tetapi efektif yang Bapak rekomendasikan adalah menerapkan kebijakan tanpa tunjuk tangan. Oleh karena itu, bahasan kita akan mulai dari situ. Apa yang salah dengan pendekatan tradisional – guru bertanya, siswa tunjuk tangan untuk menjawab?

Dylan William: Permasalahan utama adalah guru memiliki kecenderungan bahwa saat ia melemparkan pertanyaan, akan ada siswa yang mengajukan diri untuk menjawab, lalu guru mendapatkan jawaban yang diharapkan dan jika jawaban yang diberikan tepat, maka guru akan melanjutkan pelajaran begitu saja. Yang coba saya sampaikan di sini adalah ketika hanya segelintir siswa yang percaya diri dan berani yang merespon pertanyaan di kelas, untuk mengetahui mana siswa yang paham dan tidak sangatlah sulit. Jadi, yang perlu dipahami mengenai tanya jawab di kelas adalah ‘seberapa kuat temuan yang Anda punya?’ dan jika respon yang datang hanya dari siswa yang berani berbicara, Anda akan sulit mengambil keputusan yang mampu mencerminkan kebutuhan beragam dari suatu kelas berisikan 25 atau 30 siswa. Ini tidak lain tentang memperluas fakta atau temuan di kelas, mengumpulkan fakta yang lebih akurat mengenai apa yang sebenarnya ada di benak siswa di kelas baik sekarang atau nanti.

... Saya rasa ada dua alasan mengapa penting untuk mengajukan pertanyaan. Salah satunya adalah mengumpulkan temuan untuk membantu perencanaan langkah selanjutnya. Yang kedua yakni tentu saja, mengondisikan siswa untuk berpikir. Jadi, saya kira ada banyak hal yang bisa kita lakukan dengan tanya jawab di kelas, tetapi, secara umum, jika guru mengajukan pertanyaan dengan tujuan hanya untuk mencari tahu apakah melanjutkan atau memperkuat suatu poin pembahasan, maka perlu ada upaya untuk menemukan temuan yang lebih tepat dari sekedar mendapatkan jawaban dari sekelompok siswa yang percaya diri dan pandai berbicara.

JE: Tentu saja mereka masih tetap dibolehkan untuk mengangkat tangan jika mereka ingin bertanya – yang kita maksud bukan sama sekali menentang tunjuk tangan. Akan tetapi, dalam konteks ini, saat ada pertanyaan dari guru, siswa tahu bahwa siapa pun dapat dimintai respon. Kami sempat merekam siniar bersama Andria Zafirakou, seorang guru asal Inggris yang memenangkan Global Teacher Prize tahun lalu, dan beliau membahas soal murid-muridnya: Saya ingin mereka tahu bahwa mereka mungkin gagal dan bahwa mereka suatu saat benar-benar mengalami kesulitan dalam menjawab dan hal tersebut adalah hal yang wajar. Saya ingin mereka mampu bekerja sama dengan siswa lain dan menghargai hasil pekerjaan temannya. Mereka akan diminta untuk mengkritik, diminta untuk mengevaluasi, diminta untuk memberikan pendapat terus-menerus. Itu hanya satu dari sekian banyak hal lainnya, bahwa kebijakan tidak tunjuk tangan berarti menciptakan lingkungan dimana siswa merasa aman, mereka merasa dapat berkontribusi, dimana mereka boleh memberikan pandangan yang berbeda, dimana wajar jika ada hal yang mereka tidak tahu ...

DW: Benar sekali, dan bagi saya, poin pentingnya adalah apa yang Doug Lemov sebutkan dalam bukunya Teach Like a Champion sebagai ‘tidak boleh memilih tidak ikut’. Saya tidak begitu yakin bahwa melempar pertanyaan secara acak selalu merupakan hal yang baik – yang terpenting justru adalah setiap siswa di kelas tahu bahwa mereka bisa dimintai untuk merespon pertanyaan guru, atau mengomentari pernyataan yang disampaikan oleh siswa lain.

Apabila kita ingin menciptakan komunitas pembelajar, bukan berarti siswa lain diam saat ada siswa yang berbicara - mereka harus mendengarkan dengan penuh rasa apresiasi satu sama lain. Karena dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa para siswa benar-benar mendengarkan apa yang disampaikan teman sekelasnya dan mungkin saja guru lalu meminta mereka untuk mengomentari; bukan untuk menguji apakah ada siswa yang tidak memperhatikan, tapi sunguh-sungguh karena penasaran akan komentar siswa mengenai pendapat temannya. Menurut saya, itu sikap yang perlu guru coba komunikasikan kepada siswanya, bahwa setiap orang yang ada di kelas ini dihargai, dianggap penting, dan setiap ide yang muncul berharga.

JE: Berarti perlu ada beberapa aturan dasar (memang harus dibuat aturan dasar) dan atmosfer seperti itu, bukan? Tidak ada gunanya menerapkan kebijakan semacam ini jika para siswa jelas tidak ingin bersuara di kelas.

DW: Saya mendukung jika guru membebaskan siswa untuk 'tidak ikut serta'. Jadi, sebagian guru mengizinkan siswa untuk meletakkan jari di dagunya untuk menunjukkan bahwa mereka masih berpikir – jika jari itu masih berada di dagu 20 menit kemudian, Anda mungkin perlu menantang siswa tersebut untuk menjawab! Tetapi tujuan yang utama adalah, hal ini dimaksudkan sebagai cara untuk memajukan praktik di kelas, bukan sebagai cara untuk mengintimidasi siswa. Sebagian siswa memiliki rasa percaya diri yang kurang dibandingkan yang lain.

Belajar dari pengalaman saya sendiri dan pengalaman para guru yang pernah bekerja sama dengan kami, siswa dengan cepat terbiasa dengan gagasan bahwa nama mereka dapat dipanggil kapan saja dan itu bukan sesuatu yang menakutkan. Bagi saya, yang paling menarik adalah mereka yang berprestasi tinggi lebih tidak menyukai praktik ini dibandingkan mereka yang berprestasi lebih rendah. Bagi mereka yang berprestasi rendah, mereka harus fokus memperhatikan, karena bukan sesuatu yang biasa mereka lakukan di kelas. Lain halnya dengan siswa yang berprestasi tinggi, alasan mereka membenci kebijakan tanpa tunjuk jari ini adalah karena menganggap, 'Saya sepertinya akan selalu dipilih ketika saya tidak tahu jawabannya'. Yang perlu diperhatikan adalah ketika guru mulai menerapkan ide-ide semacam ini, ruang kelas menjadi lebih kohesif karena para siswa mampu melihat bahwa bahkan orang-orang yang berprestasi tinggi sekalipun dapat membuat kesalahan. Hal yang paling dibenci oleh orang-orang yang berprestasi tinggi, mereka pada umumnya akan berkata 'Oh, kita sepertinya dipilih ketika tidak tahu jawabannya', yang tentu saja mereka khawatirkan, sementara orang lain menganggapnya cukup keren.

JE: Ini mungkin salah satu hal kendala yang para guru baru dan bahkan guru yang berpengalaman sekalipun hadapi – bagaimana cara mengurangi jumlah pertanyaan yang diajukan di kelas? Mengajukan pertanyaan bertubi-tubi bisa membuat siswa kewalahan, bukan? Jadi, bagaimana cara menguranginya? Disamping itu, libatkan siswa untuk berpikir (seperti yang Bapak sebutkan di awal); pertanyaan yang memaksa mereka untuk berpikir produktif.

DW: Pertama-tama, para guru perlu merencanakan pertanyaan yang akan mereka ajukan dengan memperhatikan aspek-aspek yang selama ini diabaikan. Jadi, biasanya, para guru seperti mengarang pertanyaan secara mendadak. Masalahnya, sering kali pertanyaan-pertanyaan tersebut yang jika dibuat dengan tidak cermat, justru akan mudah dijawab oleh siswa sehingga proses berpikir dan menciptakan gagasan akan luput. Hal terburuk yang bisa terjadi adalah guru mendapatkan jawaban yang benar, meski pada kenyataannya siswa tidak betul-betul berada di jalur yang benar, tetapi karena pertanyaannya tidak disusun dengan sangat baik, siswa mampu menemukan jawaban yang benar, tapi dengan menggunakan cara berpikir yang salah

Jadi, saya kira itu satu poin penting – tentukan satu pertanyaan sebagai pertanyaan tumpuan dan sediakan lebih banyak waktu untuk satu pertanyaan tersebut, dan mungkin kumpulkan jawaban dari setiap siswa, misalnya, dengan meminta siswa menggunakan jarinya untuk menunjuk angka 1, 2, 3, 4 atau 5 untuk jawaban A, B, C, D atau E pada pertanyaan pilihan ganda.

Tujuannya adalah daripada mendapati 'mereka yang biasa' berbicara, kita secara acak dapat memilih siswa untuk berbicara atau selanjutnya, mungkin mendapatkan jawaban dari setiap siswa. Seorang guru mengajukan pertanyaan seperti, ‘apakah bujur sangkar adalah trapesium?’, lalu minta setiap siswa untuk memberikan jempol ke atas atau jempol ke bawah. Jadi, ‘apakah kalian setuju? Ya atau tidak?’ – semua siswa memilih dan hal ini membantu guru menentukan siapa yang dapat dipilih untuk menjawab. Anda sesungguhnya juga bisa meminta siswa memilih ya atau tidak mengenai isu-isu penting seperti negara mana yang paling mungkin disalahkan atas pecahnya Perang Dunia I. Sebagian siswa mungkin memilih Rusia dan sebagian lagi mungkin memilih Serbia – guru kemudian dapat mengatur diskusi yang jelas dan mudah dimengerti dengan meminta tanggapan dari beberapa siswa yang berpikir bahwa salah satu negara adalah dalang sebenarnya, dan kemudian meminta siswa dengan jawaban yang berbeda untuk berkomentar. Jadi, dengan mencoba mengatur diskusi kelas dengan mengetahui apa yang mungkin akan disampaikan siswa sebelum Anda menggiring mereka ke dalam percakapan – alhasil percakapan yang terbangun akan jauh lebih terstruktur.

JE: Sebenarnya, mendengar Bapak berkata demikian, sebagai seorang mantan guru, situasi di mana Bapak mengajukan pertanyaan, lalu meminta satu orang untuk menjawab dan Bapak akan mengatakan 'oke, bagaimana dengan yang lain?' dan mereka akan menjawab 'ya, jawaban saya juga sama' - dan itu yang sering sekali terjadi, tanpa kita benar-benar tahu apa yang ada di pikiran mereka.

DW: Betul. Jadi, kita bisa menggunakan pertanyaan pilihan ganda dengan teknik menentukan jawaban dengan jari (finger voting) untuk menentukan siswa yang benar atau salah. Selain itu, kita pun dapat menerapkannya untuk menggali opini siswa, asalkan guru mampu menyiapkan diskusi sekaligus memastikan isu-isu tersebut dibahas secara mendalam oleh semua peserta diskusi untuk menghindari ada satu siswa yang terus-terusan beropini hingga membuat siswa lain berkata 'ya, itu sudah bagus'.

JE: Itu cara pandang yang bagus. Hal lain yang mau saya tanyakan - bagaimana dengan 'pertanyaan parkir' yang bisa diartikan, ketika sedang di tengah diskusi kemudian muncul pertanyaan lain, namun tidak ada waktu untuk membahasnya saat itu juga atau bisa jadi pertanyaan tersebut sedikit jauh menyimpang. Apa rekomendasi Bapak untuk kasus seperti ini?

DW: Saya pikir ini sangat menarik untuk dibahas, dalam hal keahlian guru, jelas ada perbedaan antara mereka yang ahli dan pemula. Jadi, guru pemula (dan yang saya maksud adalah pada awal karir, mungkin masih dalam masa pelatihan sebelum mulai bekerja), ketika seorang siswa memberikan jawaban yang tidak terduga atau mengajukan pertanyaan yang tidak biasa, guru pemula cenderung mengabaikan sepenuhnya atau (dan ini bahkan lebih buruk) mereka mencoba menanggapi, tetapi respon yang disampaikan terlalu jauh menyimpang.

JE: Ya, kita semua juga pernah mengalaminya!

DW: Mereka terus memburu jawaban, meskipun tidak sepenuhnya relevan. Guru yang ahli jauh lebih mumpuni dalam menentukan apakah pertanyaan aneh atau tidak terduga yang datang dari siswa sebenarnya dapat digunakan untuk memajukan pembelajaran seluruh kelas. Salah satu hal yang mungkin kita lakukan adalah sampaikan bahwa 'itu tidak relevan dengan diskusi yang sedang kita lakukan, kita bisa bahas hal itu nanti' atau cara yang sering saya pakai adalah membuat 'tempat parkir'. Jadi, ada satu sisi di dinding ruang kelas sebagai tempat untuk memarkir pertanyaan dan saat anda berhadapan dengan situasi dimana 'ini pertanyaan yang sulit, sepertinya kita tidak bisa membahasnya sekarang – saya ingin memarkir pertanyaan tersebut di tempat parkir'. Bagi sebagian guru, jika ada tiga atau empat pertanyaan di tempat parkir, mereka biasanya menentukan durasi parkir – artinya, mungkin seminggu sekali bagi siapa saja yang sudah memikirkan pertanyaan yang ada di tempat parkir dapat menawarkan untuk mengadakan diskusi lanjutan tentang pertanyaan tersebut. Ada dua hal: pertama, sistem ini menghargai pertanyaan siswa; selain itu, hal ini juga mengirimkan pesan bahwa pertanyaan yang cukup sulit dan substansial tidak dapat dibahas hanya dalam waktu beberapa menit saja. Saya rasa sangatlah sopan ketika siswa berkata 'itu pertanyaan besar' dan 'kita perlu waktu lebih banyak untuk membahasnya’, dan saya tidak akan langsung memberikan jawabannya, karena sebenarnya kita perlu memikirkannya secara lebih mendalam.

JE: Itu satu lagi kiat yang bagus – saya yakin orang akan coba mereplikasinya. Nah, apakah masih ada kebutuhan untuk menghafal atau mengingat kembali informasi dengan cepat? Apakah pertanyaan semacam itu, baik untuk guru ataupun siswa, hanya merupakan sesuatu yang dilakukan rutin tanpa antusiasme?

DW: Saya pikir ada hal-hal tertentu yang guru hanya perlu mengecek apakah siswanya tahu atau tidak. Jadi, misal saya mengajar sains, saya perlu tahu bahwa semua siswa mengetahui unit yang kita gunakan untuk mengukur gaya.

Dan tidak ada salahnya sesekali meminta siswa untuk mengingat informasi secara cepat, karena hasil penelitian terbaru yang membahas tentang memori – terutama karya Robert Bjork dari UCLA – menunjukkan bahwa dengan mengingat kembali meningkatkan seberapa menyeluruh kemampuan Anda dalam mengetahui sesuatu. Itulah prinsip dasar dari latihan dengan pertanyaan hafalan: setiap kali Anda mencoba memulihkan ingatan terhadap sesuatu hal, ingatan akan menjadi semakin kuat. Coba bayangkan ingatan kita seperti CD yang kita nyalakan, hanya bedanya saat CD dimainkan, CD tidak berubah sama sekali. Setiap kali Anda mengumpulkan kembali ingatan tertentu, ingatan tersebut akan semakin kuat. Oleh karena itu, tipe pertanyaan yang memancing ingatan siswa seperti di atas, bisa sangat berguna untuk meningkatkan daya ingat jangka panjang siswa.

JE: Berarti asal kita menggunakannya pada saat yang tepat ya. Bapak sendiri adalah mantan guru kelas (Matematika dan Fisika). Bapak pernah menyampaikan bahwa contoh keputusan terkait pembelajaran yang guru paling sering ambil di kelas adalah ‘kita lanjutkan ke pelajaran selanjutnya ya?’. Kita sebelumnya sudah membahas tentang bagaimana tanya jawab perlu menjadi proses yang lebih dari sekedar mengajukan pertanyaan, meminta siswa untuk tunjuk tangan dan seterusnya, lalu berkata “ya, bagus” dan kemudian melanjutkan pelajaran begitu saja... praktik seperti itu tidak memberikan informasi yang cukup bagi guru mengenai siapa yang memahami apa. Sebagai gantinya, Bapak menyarankan guru menggunakan 'pertanyaan tumpuan' setidaknya setiap 20 hingga 30 menit. Apa itu pertanyaan tumpuan dan seperti apa penerapannya di kelas?

DW: Mari kita mundur sedikit ke belakang. Poin pertama adalah sebagian besar guru merencanakan pembelajaran mereka seolah-olah pelajaran tersebut akan berjalan dengan sempurna ...

JE: Ya.

DW: ... dan kita pun mendapati kenyataan bahwa tidak ada rencana pembelajaran yang berjalan mulus pada percobaan pertama pada anak-anak di kelas. Kemudian kita berjuang mati-matian untuk mengejar ketinggalan dan berusaha mencari tahu apa yang perlu diperbaiki. Intinya, mari rencanakan pelajaran dengan menanamkan checkpoint di dalamnya.

JE: Baik.

DW: Jadi, jika pelajaran berlangsung selama 45 menit, gunakan menit ke-20 untuk memastikan bahwa para siswa masih bisa mengikuti pelajaran. Caranya adalah dengan menuliskan pertanyaan yang ikut disertakan sebagai bagian dari rencana pelajaran dan ‘di titik ini saya akan memeriksa apakah siswa masih dapat mengikuti pelajaran ini‘ – dan saya perlu secara cermat merencanakan pertanyaan yang akan saya ajukan pada saat mengecek, sehingga saya bisa mendapatkan respon dari seluruh siswa. Bisa dengan meminta mereka memilih dengan jari (finger voting), kartu ABCD, atau bisa juga dengan papan tulis mini. Tidak penting teknik apa yang dipakai, yang paling utama adalah guru mampu merancang pemeriksaan singkat dalam rencana pelajarannya sebagai cara untuk mengetahui tingkat penerimaan siswa, sehingga guru mendapatkan bukti yang relevan, dan akhirnya membuat keputusan terkait proses pembelajaran. Jadi seluruh pelajaran 'bertumpu' pada titik ini.

Setiap pelajaran memiliki titik tumpunya masing-masing. Jika siswa memahaminya dengan benar, maka pelajaran bisa dilanjutkan. Namun, jika siswa belum berhasil memahaminya, guru mungkin perlu mengulang dan mengajarkannya lagi atau jika hanya ada setengah dari mereka yang berhasil menangkap pelajaran dengan benar dan setengah dari mereka salah, mungkin coba untuk memasangkan mereka dalam sebuah diskusi. Yang perlu diingat adalah setiap pelajaran hampir seperti proses yang saling bergantung satu sama lain – guru tidak akan tahu ke mana arahnya sampai akhirnya mendapatkan informasi/bukti yang cukup.

Saya pribadi terkadang menggambarkan penilaian formatif sebagai bentuk pedagogi keresponsifan dan pedagogi keterlibatan. Hal ini berarti sebisa mungkin kita harus mencari tahu apa yang siswa kita pelajari selagi mereka masih dalam proses belajar, dan kemudian kita memberikan tanggapan akan hal tersebut. Jangan sampai kita sebagai guru mengandalkan siswa yang biasa berbicara di kelas, kita juga perlu mengumpulkan informasi dari seluruh siswa tanpa terkecuali. Tidak hanya bersikap responsif, tetapi kita juga harus melibatkan semua siswa saat mengumpulkan informasi agar apapun keputusan yang dibuat benar-benar mencerminkan kebutuhan belajar semua siswa di kelas, bukan hanya kebutuhan segelintir siswa yang vokal saja.

JE: Tentu saja yang jelas dianggap tidak akan diajukan sebagai pertanyaan tumpuan misalnya, ‘apakah semua di kelas ini memperhatikan?’, ‘apakah semua paham?’, ‘ya ...’

DW: Tepat sekali. Kita bisa saja meminta siswa mengangkat tangan. Akan tetapi, ada kondisi tertentu dimana, meminta siswa mengangkat tangan tidaklah cukup. Salah satu contoh misalnya, saat mengajarkan topik menyeimbangkan persamaan kimia, kemudian guru mengubah kuantitas sejumlah elemen, beberapa senyawa, baru kemudian tanyakan pada siswa ‘apakah persamaan ini benar?’, atau bisa juga guru sengaja membuat kesalahan kemudian kembali bertanya kepada siswanya jika persamaan yang ada sudah benar. Kedua pendekatan di atas cukup berbeda, karena ketika siswa diminta menunjukkan acungan jempol, yang sebenarnya mereka pun tidak tahu apa yang harus diperbuat, karena jelas masih ada kesalahan pada soal yang dituliskan di papan. Sebaliknya, jika mereka menunjukkan jempol ke bawah, maka Anda akan meminta mereka untuk maju dan memperbaikinya. Jadi, daripada sekedar menanyakan siswa ‘apakah kalian menikmati pelajaran ini?’ coba kita ciptakan budaya dimana tidak perlu ada tempat untuk siswa menyembunyikan diri – siswa harus berperan serta.

JE: Bagaimana dengan topik yang sempat kita bahas di awal, tentang mengurangi jumlah pertanyaan, memberikan siswa lebih banyak waktu untuk merespon, bukan mengharapkan sesuatu yang terburu-buru ... kita harus memberi mereka waktu untuk berpikir.

DW: Benar. ... itulah mengapa pertanyaan tumpuan dibutuhkan, hampir seperti sesuatu yang pasti ada dalam perencanaan. Jadi, kita telah menghabiskan waktu memikirkan suatu pertanyaan – kita harus menggunakannya dengan baik. Saat guru mengajukan pertanyaan tumpuan, selanjutnya minta siswa untuk memikirkannya. Nah, saya menyarankan untuk menggabungkan tipe pertanyaan yang menggali ingatan, daripada langsung meminta siswa untuk 'berpikir, berpasangan, berbagi/berbicara dengan siswa yang lain'. Coba mulai dengan meminta siswa berusaha mencari jawaban dengan mengingat kembali pelajaran sebelumnya. Selanjutnya, siswa diharapkan untuk membagikan jawabannya – saya biasanya akan mengatakan, setidaknya dalam satu menit, terutama jika itu adalah pertanyaan yang membutuhkan waktu bagi siswa untuk berpikir, memikirkan masalah secara mendalam, dan juga untuk mempersiapkan jawaban untuk merespon pertanyaan yang diajukan, jadi siswa tidak dibuat kaget atau bingung ketika dipilih untuk memberikan jawaban.

JE: Satu aspek penting, seperti yang telah disebutkan, adalah membuat pertanyaan yang sesuai. Pertanyaan itu harus berupa pertanyaan yang benar, tapi tidak didapat melalui cara berpikir yang salah. Bapak sempat menyebutkan bahwa Bapak akan memasukkan itu sebagai bagian dari perencanaan pelajaran – menyusun pertanyaan-pertanyaan ini. Guru kemungkinan besar tidak akan dapat membuat pertanyaan-pertanyaan tersebut di saat itu juga – kecuali guru tersebut sudah sangat berpengalaman dalam hal ini, betul begitu?

DW: Ya, mungkin bagi mereka yang sangat berpengalaman, setiap aspek dalam pelajaran bisa dimanfaatkan untuk pertanyaan tumpuan. Tetapi, bagi sebagian besar dari kita, akan lebih baik jika pertanyaan-pertanyaan itu disusun terlebih dahulu secara cermat. Dan, cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan memulai dari semua miskonsepsi yang jelas kita ketahui setiap siswa miliki.

Jadi, pertanyaan-pertanyaan tumpuan yang kita gunakan ini sering kita berikan dalam format pilihan ganda, sehingga semua opsi yang salah dapat diketahui sebagai miskonsepsi. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi seperti gudang penyimpanan informasi yang kita ketahui seputar kesulitan yang dialami siswa dalam bahasan tertentu. Ada satu contoh soal yang sangat bagus dari Jonathan Osborne, Stanford University, tentang pengukuran: Berapa kali guru perlu melakukan pengukuran ketika mengajarkan pengukuran di kelas sains? Dan salah satu pilihan jawaban yang salah adalah: Jika ia benar-benar berhati-hati, ia hanya perlu mengukur satu kali. Nah, itu terlihat seperti respon yang sangat masuk akal. Yang membuatnya menjadi jawaban salah terbanyak yang dipilih siswa adalah karena pilihan jawaban tersebut tampak meyakinkan – jika dia benar-benar hati-hati – tetapi, tentu saja, jawaban yang benar adalah: Dia perlu mengukur berkali-kali untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan yang ada, sebelum akhirnya memutuskan berapa banyak pengukuran yang perlu dilakukan.

Jadi, pertanyaan-pertanyaan semacam itu, ide-ide dasar dari semua yang kita ketahui namun mampu mengelabui siswa, sebagai suatu alat, pertanyaan pilihan ganda bisa jadi sangat membantu.

JE: Dan, termasuk proses belajar ketika seseorang muncul dengan jawaban yang salah dan kemudian diajak untuk mendiskusikan miskonsepsi yang terjadi, dan kemudian mengulasnya sedikit, bukan berarti kita memperlama pembahasan, tetapi setidaknya kita berusaha memahami apa yang terjadi.

DW: Benar sekali. Biasanya, ketika kita mendasarkan jawaban yang salah pada miskonsepsi, kita justru bisa mendapatkan panduan yang lebih jelas tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Jika siswa melakukan kesalahan dan yang kita ketahui hanyalah fakta bahwa mereka salah, ujung-ujungnya kita diminta untuk 'ajarkan lagi, tapi lebih baik'. Jika jawabanmu yang salah berkaitan dengan miskonsepsi yang sudah terbaca, kita tidak hanya mampu mengidentifikasi apa kesalahan mereka, tetapi juga alasan mengapa mereka salah, dan apa yang mungkin kita lakukan untuk membantu mereka melangkah maju.

JE: Untuk pertanyaan terakhir, ditujukan khusus bagi para guru yang ingin melakukan perubahan, titik awalnya adalah selalu bercermin pada praktik saat ini. Apakah ada kiat khusus? Apakah ini sesuatu yang mungkin untuk dilakukan sendiri? Apakah perlu mengajak orang lain untuk berdiskusi sebelumnya? Apakah perlu untuk mengundang seorang kolega untuk melakukan observasi atau sekedar memberikan umpan balik? Mungkin dengan membuat video saat mengajar? Bagaimana kita menilai diri sendiri, merefleksikan praktik kita sendiri, dan mengetahui bagian mana yang kita tingkatkan?

DW: Jawaban awal saya adalah ‘semua yang tadi Anda sebutkan’. Saya sering mendengar bahwa satu-satunya cara untuk mewujudkan ini adalah jika ada budaya keterbukaan di sekolah. Tidak ada keraguan bahwa untuk melakukan hal yang Anda sebutkan, akan lebih mudah jika budaya keterbukaan di sekolah ditanamkan, tetapi jika tidak bisa menemukan orang lain untuk diajak bekerja sama, bukan hal mustahil untuk melakukannya sendiri.

Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah untuk serius memulai memikirkan pertanyaan yang bisa Anda pakai di saat pertengahan pelajaran untuk mengecek apakah siswa masih dapat mengikuti pelajaran atau tidak. Dan, seperti halnya membuat panekuk, jangan khawatir jika yang pertama tak jarang harus dibuang, terus coba tanyakan pertanyaan-pertanyaan itu dan jika masih tidak berhasil, coba lakukan beberapa perbaikan. Ketika Anda sudah mulai percaya diri, seiring dengan bertambahnya pengalaman, Anda bisa mulai mengundang beberapa rekan seprofesi untuk berkolaborasi. Sebagian guru merasa terbantu dengan memasang kamera pada dudukan, oleh karenanya Anda juga bisa memasang ponsel cerdas dan menyalakan fitur kamera, kemudian menaruhnya di bagian belakang ruang kelas untuk merekam aktivitas mengajar Anda. Untuk sebagian guru, ini membuat mereka lebih percaya diri sebelum mengundang rekannya untuk bergabung.

Jadi, sebenarnya tidak ada jawaban standar untuk hal ini. Yang penting adalah penilaian formatif benar-benar membantu guru dalam mempertimbangkan dua hal: yang pertama adalah ‘apa yang sudah saya lakukan sebagai seorang guru?'; dan ‘apa yang sudah siswa saya pelajari?’ Selama para guru mampu merefleksikan hubungan mendasar antara apa yang telah ia lakukan dan apa yang telah siswanya pelajari, ia akan selalu menemukan cara untuk meningkatkan praktik mengajarnya. Saya pikir itu adalah gagasan utamanya, tidak lelah untuk terus menerus menggali keterkaitan antara apa yang dilakukan dengan apa yang dipelajari siswa – itu merupakan kunci dalam pengembangan profesional yang efektif.

Sekian bahasan untuk episode kali ini, tapi masih ada 120 siniar lainnya yang tersedia di arsip Teacher dan dapat diunduh secara gratis dengan mengunjungi laman acer.ac/teacheritunes atau soundcloud.com/teacher-acer. Seperti halnya episode-episode lainnya, transkrip lengkap obrolan saya bersama Dylan Wiliam dapat diakses di teachermagazine.com.au. Di situ Anda juga akan temukan tautan untuk berlangganan saluran siniar kami di iTunes dan SoundCloud, atau ke buletin email kami, agar tidak pernah ketinggalan berita terkini.

Anda telah mendengarkan siniar yang didukung oleh Australian Student Wellbeing Framework yang baru. Kerangka kerja nasional ini peduli terhadap hal-hal yang terbukti penting dalam membantu siswa merasa aman, terkoneksi, didukung dan dilibatkan dalam pembelajaran mereka. Kunjungi www.studentwellbeinghub.edu.au untuk mengetahui lebih banyak mengenai Framework, sumber daya, dan informasi lainnya.

Dylan Wiliam menyatakan bahwa kunci utama dari pengembangan profesional adalah dengan merefleksikan hubungan mendasar antara apa yang Anda lakukan dan apa yang siswa Anda pelajari. Seberapa sering Anda merefleksikan praktik yang Anda terapkan di kelas dengan pendekatan seperti ini?

Bagaimana cara Anda memutuskan apakah pelajaran dapat dilanjutkan atau tidak? Seberapa lengkap informasi/bukti yang Anda kumpulkan – apakah Anda hanya mendapatkannya dari 'mereka yang biasa mengemukakan pendapat'?

Pikirkan tentang pelajaran yang akan datang: miskonsepsi seperti apa yang mungkin siswa Anda miliki? Gunakan informasi ini sebagai titik awal dalam merencanakan pertanyaan tumpuan.