Pengaruh pendidikan prasekolah kepada hasil belajar murid di Filipina

Berbagai riset internasional menunjukkan bahwa pendidikan prasekolah memainkan peranan penting dalam menyiapkan anak memasuki tahun-tahun pertamanya di sekolah dasar.

Studi longitudinal di Filipina baru saja melaksanakan pengambilan data dari total 4.500 Sekolah Dasar Negeri selama 5 tahun. Studi ini memperlihatkan bahwa murid yang mendapatkan pendidikan prasekolah secara konsisten mengungguli murid yang tidak, di bidang literasi, matematika, dan keterampilan sosoal-emosional.

Studi Longitudinal mengenai Early Childhood Care and Development (ECCD) yang dilakukan di Filipina didanai oleh UNICEF, Departemen Pendidikan Filipina, serta Pemerintah Australia. Studi ini dijalankan oleh Australian Council for Educational Research (ACER) dan meliputi studi kasus, asesmen, serta kuesioner yang diisi oleh murid, guru, dan pimpinan sekolah.

Pengaruh pendidikan prasekolah bagi kualitas belajar

Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami pengaruh pendidikan prasekolah kepada anak-anak yang terdaftar di Sistem Pendidikan Dasar K-12 di Filipina. Pengumpulan data dilakukan pada 6 titik yaitu di awal dan akhir masa prasekolah serta akhir kelas 1, 2, 3 dan 4.

“Studi ini menemukan bahwa pendidikan prasekolah ataupun grup bermain memberikan perbedaan positif bagi pembelajaran selama 5 tahun pertama,” tulis peneliti dalam laporannya. “Bahkan tercatat bagaimana di akhir kelas 4, murid yang menghadiri prasekolah atau grup bermain di samping masa-masanya di Taman Kanak-kanak mengungguli murid yang langsung memasuki pendidikan dasar, baik dalam keterampilan literasi, matematika, serta sosial-emosional.”

Meski demikian, penulis juga mencatat masih kurang jelasnya penelitian spesifik terkait ragam dan kualitas pengajaran dan pembelajaran prasekolah. “Dalam studi kasus, belum disebutkan secara eksplisit mengenai pengaruh bentuk-bentuk pengajaran keterampilan sosial-emosional dan keterampilan kognitif umum terhadap kualitas hasil belajar. Keterampilan ini masih dilihat sebagai produk sampingan dari menghadiri pendidikan prasekolah dan grup belajar anak serta pengaruh baik yang didapatkan dari berinteraksi dengan anak-anak lain, ”tulis peneliti.

Keterampilan sosial-emosional untuk anak-anak

Sebuah fitur unik yang diangkat dalam penelitian ini adalah pengukuran keterampilan sosial-emosional murid, serta eksplorasi hubungan antara keterampilan sosial-emosional, juga literasi dan prestasi matematika.

“Keterampilan sosial-emosional diukur sebagaimana yang sekarang ini diketahui luas bahwa anak-anak menggunakan berbagai kombinasi keterampilan untuk berhasil di sekolah,” para peneliti menjelaskan. “Seorang anak yang dapat mengelola emosinya dengan baik akan mampu untuk tetap tekun bahkan ketika menghadapi soal matematika yang amat sulit. Seorang anak yang mampu memahami emosi yang terjadi dalam diri mereka sendiri dan orang lain, akan mampu memanfaatkan keterampilan ini untuk menyelesaikan isu-isu yang mungkin terjadi ketika mengerjakan proyek kelompok.”

Studi ini menemukan bahwa secara umum, keterampilan sosial-emosional anak-anak dinilai oleh guru dalam skala menengah hingga tinggi. Terdapat bukti yang jelas pula bahwa, kemampuan yang dimiliki anak perempuan kerap mengungguli anak laki-laki. Selain itu, ditemukan pula bahwa keterampilan sosial-emosional murid perlu diasah sebab keterampilan ini ini bukanlah hal yang akan berkembang secara otomatis dengan seiring berjalannya waktu. Murid yang memiliki keterampilan sosial-emosional yang tinggi juga tercatat unggul dalam bidang literasi dan matematika dibandingjan dengan murid dengan keterampilan sosial-emosional menengah atau rendah.

Keterampilan literasi dan numerasi murid

Studi ini juga membagikan beberapa temuan kunci dalam hal keterampilan literasi dan matematika anak-anak.

Para peneliti mencatat bahwa meski secara umum keterampilan literasi anak meningkat setiap tahun, peningkatan tersebut kerap tidak sejalan dengan kecepatan gerak kurikulum. Kesenjangan antara keterampilan dan ekspektasi kompetensi yang ditentukan dalam kurikulum kerap paling menonjol terjadi di Kelas 3.

“Sebagian besar murid dalam penelitian ini masih berada di tahap belajar membaca di akhir kelas 4. Kecepatan belajar mengajar juga tampaknya belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan murid. Murid-murid nyatanya membutuhkan waktu lebih lama untuk berlatih dan mengonsolidasikan keterampilan membaca yang esensial misalnya hubungan antara bunyi dari berbagai huruf dengan rangkaian kata yang terlafalkan (decoding), ”tulis laporan tersebut.

Serupa dalam keterampilan matematika, meski kesenjangan antara ekspektasi kompetensi dari dengan keterampilan murid tercatat paling menonjol di Kelas 2.

“Kita perlu memastikan bahwa guru mendapatkan bimbingan, pelatihan, dan kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan strategi serta sumber daya yang berbeda untuk mendukung kebutuhan belajar anak yang juga berbeda.”

Belajar dengan bahasa yang berbeda

Laporan ini juga menyajikan gambaran mengenai pengaruh yang dibawa oleh pengenalan pendidikan bahasa Ibu atau juga disebut Mother Tongue-Based Multilingual Education (MTB-MLE). Filipina adalah negara pertama di kawasan regional Asia Tenggara yang menerapkan kebijakan nasional yang mewajibkan pendidikan bahasa ibu untuk semua murid hingga akhir Kelas 3 sebelum beralih ke pembelajaran Bahasa Filipina dan Bahasa Inggris di Kelas 4.

“Hal ini menjadi sangat unik terutama melihat ambisiusnya parameter yang diterapkan – Departemen Pendidikan Filipina menyediakan sumber daya untuk proses belajar dan mengajar dalam 19 bahasa ibu yang mencakup hingga 80 persen populasi masyarakat. Tercatat, adanya perbedaan kinerja antar berbagai kelompok bahasa, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian kami.”

Temuan khusus dari studi longitudinal ini menemukan bahwa dalam hal literasi, murid yang diuji dalam bahasa Filipina mendapatkan nilai lebih tinggi dibandingkan murid yang diuji dalam bahasa Inggris. Meski, nilai dari ujian pelajaran bahasa Inggris berada tidak jauh di belakang mata pelajaran bahasa Filipina. Para peneliti amat mengesankan bagi para peneliti, melihat bahwa bahasa Inggris lebih jarang digunakan murid di rumah.