Pengelolaan Perilaku Episode 4: Pendekatan perilaku untuk anak-anak dengan disabilitas

Halo, terima kasih telah mengunduh siniar dari majalah Teacher ini – Saya Rebecca Vukovic.

Tamu saya untuk seri siniar Pengelolaan Perilaku episode ini adalah Dr David Armstrong, seorang peneliti dari School of Education di Flinders University. Kami akan berbincang tentang karya ilmiah beliau yang terbaru, Mengatasi masalah perilaku yang sulit di sekolah, yang menunjukkan bagaimana model pengelolaan perilaku tertentu terbukti tidak efektif, terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar atau kesehatan mental. Model pengelolaan perilaku yang beliau coba jabarkan adalah model kelola dan disiplinkan, yang menurut Armstrong didasarkan pada beberapa asumsi utama tentang anak-anak. Saya akan memulai perbincangan ini dengan meminta beliau untuk menjelaskan apa saja asumsi-asumsi tersebut.

David Armstrong: Hmm ... perilaku adalah sebuah fenomena, sesuatu yang dapat kita ukur dan kendalikan dan kita pun dapat mengurangi perilaku anak-anak hingga mencapai variabel yang dapat kita kelola dan manipulasi. Berbekal keterampilan dan pelatihan yang tepat, para guru dapat memiliki kontrol teknis sepenuhnya atas perilaku siswa di kelas. Sejatinya ini hanya masalah menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki dan ... ini tidak bisa diterapkan kepada anak-anak yang kesulitan dalam menyesuaikan diri atau memiliki disabilitas atau lainnya, yang perilakunya menurut kita tidak dapat dikendalikan, mereka lalu dikeluarkan dari kelas sehingga tampak ada penyingkiran atau pengucilan dalam model perilaku manage-and-discipline ini.

Rebecca Vukovic: Bagi siswa dengan disabilitas yang kondisinya mempengaruhi perkembangan perilakunya atau siswa dengan kesehatan mental, bagaimana model manage-and-discipline ini mempengaruhi pembelajaran mereka di kelas?

DA: Yah, mereka lebih sering tidak berada di kelas, justru akibat dari penerapan model ini. Jadi, yang umumnya terjadi adalah kita menerapkan – dan ini jelas merupakan stereotip – kita menerapkan serangkaian parameter yang kaku tentang apa yang bisa dan tidak bisa diterima, kemudian dalam praktiknya tidak berhasil, akibatnya perilaku serupa kian meningkat sehingga pada akhirnya anak dikeluarkan dari kelas. Di Amerika Serikat mereka memiliki undang-undang yang mereka terapkan pada tahun 2004, khusus untuk menangani masalah ini, karena ada banyak anak di sekolah-sekolah di Amerika yang dikeluarkan dari kelas dan memiliki disabilitas, dan itu merupakan tindakan yang melanggar hukum. Bedanya adalah, di Amerika Serikat sekolah didorong dan juga diberikan alokasi pendanaan sehingga sekolah wajib mengadopsi praktik berbasis bukti sebelum mereka mengeluarkan seorang anak dari kelas. Jadi, sekolah harus menunjukkan dan memperlihatkan terlebih dahulu bahwa mereka telah menggunakan beberapa intervensi berbasis bukti dan tidak serta-merta reaktif dengan mengeluarkan anak-anak dari sekolah. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Pendidikan Individu dengan Disabilitas tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa semua sekolah di Amerika Serikat harus menggunakan praktik berbasis bukti, dan berlaku setelah periode itu, ada dana yang dianggarkan untuk menjalankan kebijakan ini melalui sebuah program yang bernilai USD 700 juta ... digunakan untuk menyelenggarakan serangkaian program untuk mencoba membantu sekolah mewujudkannya di lingkungannya masing-masing.

Hal lainnya yang perlu direnungkan adalah ... jelas hasil akhirnya adalah siswa diskors atau dikeluarkan dari kelas karena model perilaku seperti ini tidak cocok untuk diterapkan, kemudian bisa jadi mereka pindah sekolah atau dikeluarkan dari sekolah di beberapa kasus dimana perilaku mereka dianggap makin menjadi-jadi. Ada sejumlah anak-anak lainnya yang justru tidak termotivasi dengan model semacam ini, yang mengakibatkan kebutuhan mereka tidak terpenuhi dan mereka semakin hari semakin tidak peduli terhadap pendidikan, sehingga mereka akhirnya tidak belajar sungguh-sungguh atau tidak mendengarkan dengan baik.

Kita tahu bahwa bagi anak-anak dengan disabilitas yang jelas-jelas dari awal kurang menguntungkan posisinya dalam penerapan model ini, bahwa risiko semacam ini ada dan model pengelolaan perilaku yang tidak tepat, seperti model manage-and-discipline hanya akan memperburuk keadaan atau dengan kata lain, anak-anak disabilitas akan semakin sering dikenai skors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah.

RV: Mengingat kondisi ini, Apa saran Anda agar para guru menanggapi perilaku negatif di kelas dengan cara yang etis, tetapi efektif?

DA: Oke. Pertama-tama, kita perlu hindari pemikiran mengenai bagaimana kita bisa mengatur anak. Anak bukan kaleng kacang yang kita taruh di rak, atau barang di mobil kita atau uang simpanan kita. Mereka adalah manusia. Jadi, dengan berpikir bagaimana kita bisa mengatur anak, kita secara langsung mengindahkan nilai mereka sebagai manusia. Hal ini tidak juga membantu dalam upaya kita untuk membantu dan mengubah perilaku anak agar menjadi lebih baik. Inilah yang perlu menjadi titik awal, lupakan bagaimana cara mengatur anak, anak bukan benda fisik, mereka juga bukan persediaan di gudang kita. Mereka adalah manusia yang kompleks seperti halnya kita semua.

Selanjutnya, kita perlu berpikir tentang bagaimana kita dapat mengadopsi praktik profesional yang otoritatif, tetapi tidak otoriter, dimana standar kita adalah berekspektasi siswa memiliki perilaku positif , bukan sebaliknya dimana kita sampai harus mengambil jeda dari suatu sistem kegiatan hanya untuk menghadapi perilaku negatif.

Dan kita perlu bekerja sama dengan sekolah untuk benar-benar menerapkan kebijakan dan budaya perilaku positif di sekolah secara menyeluruh. Kita sebagai guru juga perlu menyadari bahwa kita bertanggung jawab untuk mengatur perilaku di kelas kita. Kita tidak dapat melepaskan diri dan melimpahkan kesalahan kepada anak-anak dan berujar, “ini kesalahan anak dengan alasan mereka itu X, Y, atau Z...”

Kita pun perlu melakukan hal-hal, seperti memikirkan bagaimana agar kebutuhan anak dapat terpenuhi. Motivasi sering kali terlupakan – komponen utama dari banyak perilaku yang kita anggap bermasalah. Jadi, kita perlu memikirkan apakah penugasan yang kita berikan sudah tepat dan memotivasi mereka? Apakah kita memberi mereka ruang untuk mendalami hal-hal yang mereka minati, jelas dengan tetap berpatokan pada kurikulum agar tujuan pembelajaran tetap dapat tercapai. Mencari tahu bagaimana cara memotivasi anak adalah hal yang juga sangat penting. Salah satu hal pertama yang saya tanyakan ketika saya pergi ke suatu sekolah dan diminta memberikan dukungan kepada anak dengan disabilitas serta guru adalah: apakah kebutuhan mereka terpenuhi? Apakah bukti yang dapat kita lihat yang menunjukkan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi? Dan apakah bukti tersebut masuk dalam perencanaan? Dan apa yang telah diimplementasikan sebagai bagian dari perencanaan konten yang ditujukan bagi anak-anak tersebut?

Rebecca, hal lain yang juga perlu diperhatikan…pada tahun 2011 Paul Cooper melakukan satu tinjauan studi dan bukti menunjukkan bahwa kita butuh anak didik kita memahami bahwa kita memiliki rasa hormat dan harapan positif yang tak bersyarat terhadap mereka. Jika siswa mengetahui kalau kita menghargai dan menyukai mereka, bukan berarti kita otomatis menjadi teman mereka, tetapi setidaknya menunjukkan bahwa kita berada di pihak mereka, bahwa kita siap untuk membantu mereka belajar, kita siap untuk membantu memberikan lingkungan belajar yang tenang dan positif. Mereka perlu melihat kita sebagai orang dewasa yang bisa diandalkan. Kita bukan orang asing yang memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan. Ini penting terutama bagi anak-anak yang terlihat tidak peduli dan tidak lagi tertarik. Bisa jadi ada banyak siswa dengan kondisi ini, yang tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini saat berada di rumah, bisa jadi karena tidak pernah ada orang dewasa yang secara jelas menunjukkan bahwa mereka siap untuk membantu atau mendukung atau sekedar ada di samping mereka. Anak-anak ini mungkin tidak memiliki sosok tersebut. Oleh karenanya, jika kita menawarkan diri, itu langsung menjadi awal yang positif untuk membantu mereka mengubah perilaku mereka dan mempertahankan perilaku yang baik dan positif. Itulah alasan mengapa menjaga hubungan kita dengan mereka sebagai orang dewasa yang siap membantu sangatlah penting.

RV: David, kita ketahui bersama bahwa Anda berprofesi sebagai dosen di bidang pendidikan guru. Yang ingin saya tanyakan, apakah pengelolaan perilaku, khususnya bagi siswa dengan disabilitas, merupakan hal yang menjadi perhatian bagi para guru yang masih mengenyam bangku pendidikan?

DA: Ya, tentu saja, dan seringkali berdasarkan intuisi mereka. Dan saya bisa melihat itu jadi salah satu perhatian mereka. Penelitian yang telah saya dan banyak kolega di Australia lakukan di bidang ini atau di negara lain, sering kali menggambarkan praktik pengelolaan perilaku yang para calon guru ini amati dalam saat mereka masih berstatus calon guru kemudian akan mereka tiru atau gunakan berdasarkan intuisi mereka. Beberapa praktik diantaranya sangat bagus, tetapi sebagian lagi tidak begitu bagus. Banyak juga praktik yang sama sekali tidak membantu. Sebagai contoh, satu hal yang diterapkan oleh banyak siswa adalah anggapan bahwa pendekatan behavioris akan berhasil. Jadi, ini tentang memberikan insentif kepada anak-anak agar mereka patuh dan ini bisa berhasil, begitu pula jika kita ingin agar anak-anak dengan disabilitas untuk selalu patuh, mungkin dapat berhasil. Atau mungkin kita juga bisa memberi mereka ruang agar mereka bisa membuat pilihan mereka sendiri, itu juga salah satu hal yang saya sarankan. Meski itu bisa saja berhasil, tetapi sering kali penerapannya salah, misalnya insentif yang diberikan salah, sehingga malah memicu perilaku negatif. Contoh lainnya, misalnya saat keseluruhan sistem perilaku diterapkan pada semua anak tanpa mempedulikan apakah mereka memiliki perilaku positif atau perilaku yang perlu diperbaiki. Ini berarti guru mungkin saja menggunakan satu pendekatan yang sama untuk semua anak. Namun, apa yang saya coba lakukan dan tekankan pada rekan guru sekalian adalah meminta mereka mencari lubang perangkap yang tersembunyi dari pendekatan ini dan mencoba untuk berpikir lebih kritis tentang pendekatan terbaik apa yang dapat mereka gunakan. Jadi, coba lihat dari hal-hal seperti diferensiasi; apakah penugasan yang diberikan memiliki bobot yang sesuai untuk anak?

Salah satu alat yang paling efektif yang dapat digunakan seorang guru adalah dengan melihat hasil penilaian perilaku fungsional (functional behavior assessment, FBA), yang memperlihatkan apakah motivator yang mempengaruhi perilaku anak yang kita tengah amati. Apakah motivatornya termasuk upaya balas dendam? Apakah itu kontrol atau kekuasaan? Apakah hanya sebagai pelarian? Beberapa hal di atas termasuk sejumlah motivator yang bisa mendasari perilaku anak. Begitu kita memiliki dasar hipotesis kerja mengenai apa yang mungkin melandasi perilaku yang kita amati tersebut, maka kita dapat mulai mengukurnya dan menyusun teori, perkiraan yang paling mendekati berdasar pemikiran yang kita bangun. Selanjutnya, kita bisa mulai merencanakan apa yang sebaiknya kita lakukan dengan hasil penilaian ini.

Lagi-lagi, salah satu hal yang terus saya komunikasikan dengan mahasiswa saya adalah betapa pentingnya mereka menjaga diri sendiri, bahwa bekerja secara kolegial dengan rekan seprofesi, apalagi dalam sebuah penelitian, ada saja guru yang terisolasi atau menghabiskan waktu sendirian karena mereka jauh lebih rentan mengalami stress atau kurang efisien dalam bekerja. Oleh karena itu, saya mendorong mahasiswa saya untuk berpikir kritis tentang apa yang akan mereka kerjakan dan bagaimana mereka dapat bekerja dengan guru lain, bekerja bersama untuk menerapkan model terkait pengelolaan perilaku yang adil dan efektif. Saya pikir sangat penting menghindari seorang guru merasa terisolasi. Kesejahteraan guru merupakan hal yang sangat penting, meski sering tidak mendapat perhatian lebih. Hal ini termasuk bagian penting dalam memproyeksikan perilaku pada anak atau siswa, dimana seringkali kita lupa untuk juga memperhatikan guru dan keterkaitannya dalam upaya pengelolaan perilaku anak. Psikologi perkembangan pun akan mengatakan hal yang sama, bahwa itu adalah pendekatan yang salah, cara yang salah.

... Jadi, kita memiliki kecenderungan untuk mengalami kegagalan, ini adalah ketika kita berpikir tentang seorang anak dan kita berekspektasi mereka akan berperilaku buruk. Kita mengharapkan mereka berperilaku buruk sehingga kita bisa menerapkan sanksi dalam model perilaku ini, dan itu suatu hal yang tidak baik. Hal ini secara otomatis menyebabkan munculnya reaksi negatif antara guru dengan siswa. Model lainnya adalah melalui pendekatan humpty dumpty. Saya menggambarkannya sebagai suatu keyakinan, dimana kita mampu menyembuhkan anak-anak yang memiliki perilaku yang bermasalah dan/atau disabilitas dan mengembalikan mereka menjadi normal serta membawa mereka kembali ke dalam kelompok ... bahwa kita dapat memperbaiki perilaku anak tersebut. Meskipun terkadang faktor yang menyebabkan perilaku buruk anak berasal dari lingkungan rumah mereka sendiri. Model ini tidak akan berhasil dan hanya akan membuat guru kehilangan motivasi.

Selain itu, adanya ketakutan dan ketidakpastian di mana guru, mungkin tidak berdaya bukan istilah yang tepat, lebih mengarah ke kondisi dimana guru tidak tahu harus berbuat apa. Alhasil, tindakan yang dibutuhkan tidak terjadi tepat waktu dan mengakibatkan perilaku siswa semakin hari semakin memburuk dan mungkin menjadi gangguan kesehatan mental karena tidak ada upaya yang dilakukan sama sekali. Oleh karenanya, cara yang mudah untuk mencegah kondisi ini terjadi, khususnya saat bekerja dengan orang lain, adalah dengan saling mendukung satu sama lain sehingga ketakutan dan ketidakpastian dapat dihindari, serta dengan berbagi ide atau gagasan untuk mengatasi kondisi serupa, dengan menanyakan pendapat orang lain mengenai pandangannya seputar anak dengan perilaku yang cenderung negatif. Intinya, bekerja bersama dan berusaha menghindarkan diri agar tidak terisolasi dapat mengurangi beberapa risiko dan mitos yang ada.

RV: Untuk pertanyaan terakhir, jika para guru meninggalkan model manage-and-discipline sepenuhnya, dampak apa yang muncul dan bisa mempengaruhi kesejahteraan mereka?

DA: Menurut saya, sangat besar. Seperti yang saya sempat singgung sebelumnya, model manage-and-discipline membentuk gambaran ruang kelas yang sempurna, tetapi sulit untuk direalisasikan. Cukup sering, sekali lagi saya rasa ini hanya mitos, ini adalah mitos mengenai gambaran kelas yang ideal. Guru yang kerap mendengarkan mungkin mengenali kondisi ini, meski ada banyak hal yang belum mereka ketahui, ini adalah contoh nyata untuk kita renungkan bersama.

Jadi, salah satu hal yang akan kita dapatkan dengan meninggalkan model ini adalah berkurangnya stres yang dialami guru. Pemahaman mengenai perilaku anak-anak juga semakin lebih realistis. Guru perlu memahami perilaku siswanya terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan, di saat model manage-and-discipline adalah model yang cenderung reaktif. Apabila guru mampu memahami perilaku anak dengan lebih baik, maka guru mampu merespon perilaku tersebut dengan baik pula. Jadi, dengan meninggalkan model manage-and-discipline, kita dibebaskan melakukan hal-hal itu, menjadi lebih efektif, dan untuk lebih tepat dalam menentukan langkah yang perlu kita ambil. Disamping itu, ini juga menyangkut masalah etika, karena dengan mengambil tindakan yang efektif, kita bisa menghindari sanksi atau pemberian hukuman yang dapat mengakibatkan siswa diminta keluar dari kelas. Ketika ini terjadi, perselisihan semakin keruh, argumentasi pun semakin memanas, guru meminta siswa untuk patuh, namun siswa berdalih. Guru lalu menjawab dengan nada lebih keras – perselisihan tidak terbendung. Oleh karena itu, dengan meninggalkan metode tersebut dan fokus untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada anak daripada meresponnya secara emosional, maka kita memiliki ruang tidak hanya untuk membantu kita sendiri selaku guru, tetapi juga membantu anak, dengan memberi mereka ruang untuk merenungkan hal yang terjadi. Beri mereka waktu sejenak, tanyakan apa yang sedang terjadi? Apa yang menyebabkan perilaku tersebut? Bagaimana saya seharusnya merespon? Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?

Satu hal yang saya pikir berlaku untuk banyak kasus perilaku anak adalah kesulitan dalam berperilaku dimulai sejak awal kehidupan mereka dan kita mungkin perlu memikirkan intervensi dini untuk anak-anak yang membutuhkan dukungan yang lebih intensif, dan membantu mereka mempelajari cara berperilaku yang baik serta faktor-faktor lain yang mendukung terbentuknya perilaku baik tersebut. Salah satu cara adalah melalui pendidikan prasekolah, dimana anak-anak yang membutuhkan perhatian dan dukungan ekstra diberikan bantuan dalam belajar bagaimana berperilaku dan bagaimana berperilaku dengan baik. Sebagian anak memang membutuhkannya sedini mungkin dan tentu saja harus menjadi prioritas.

Sekian untuk episode kali ini, untuk tetap mendengarkan atau mengunduh siniar dalam arsip kami – kunjungi saja acer.ac/teacheritunes atau soundcloud.com/teacher-ACER. Transkrip lengkap siniar ini dan informasi lebih lanjut dapat diakses melalui teachermagazine.com.au. Anda juga akan menemukan artikel, video, dan infografis terbaru secara gratis di situs tersebut.

Referensi

Armstrong, D. (2018). Addressing the wicked problem of behaviour in schools, International Journal of Inclusive Education, DOI: 10.1080/13603116.2017.1413732

Cooper, P. (2011). Teacher strategies for effective intervention with students presenting social, emotional and behavioural difficulties: an international review, European Journal of Special Needs Education, 26:1, 71-86, DOI: 10.1080/08856257.2011.543547

Dr Armstrong mengatakan bahwa penting bagi siswa untuk memahami bahwa guru mereka berada di pihak mereka. Coba bayangkan kelas Anda sendiri: apakah siswa Anda tahu bahwa Anda menghargai dan mendukung mereka? Bagaimana cara Anda memperlihatkan hal tersebut kepada mereka?

Beliau juga mengatakan bahwa guru harus berpikir tentang bagaimana mereka dapat mengadopsi praktik profesional yang otoritatif, tetapi tidak otoriter. Bersama seorang kolega, coba lakukan diskusi tentang berbagai cara yang dapat Anda lakukan untuk menerapkannya di lingkungan sekolah Anda sendiri. Apa dampak yang dapat terjadi terhadap perilaku siswa?