Menggabungkan sampel hasil karya siswa dengan rubrik

Melihat 20 wajah dengan ekspresi kosong menatap balik ke arah saya, jelas sudah bahwa di tahap ini siswa belum siap untuk menjalani penilaian formatif. Dapat dipastikan bahwa kami belum mencapai kriteria sukses untuk sesi ini: “Rubrik tentang pemahaman mengenai aspek-aspek yang menentukan pembacaan puisi yang efektif serta kriteria pencapaian yang ditetapkan dalam pembacaan puisi.”

Setelah bersusah-payah menerjemahkan setiap kriteria pada rubrik, mendiskusikan bagaimana sekiranya bentuk ideal dari masing-masing kriteria, sekaligus menerangkan kata-kata yang masih asing, siswa saya masih tetap belum benar-benar memahami ekspektasi yang diharapkan dari penilaian pembacaan puisi. Seperti halnya banyak guru lain, saya mengira bahwa ekspektasi penilaian dalam rubrik sudah terartikulasi dengan jelas dan dengan demikian dapat mendorong pencapaian para siswa. Tapi ternyata hanya sedikit bukti empiris yang ikut mendukung keyakinan yang sifatnya intuitif tersebut (Andrade, Du, & Wang, 2008) dan wajah-wajah bingung di hadapan saya jelas tidak mampu memperkaya materi anekdotal apa pun terhadap argumen tersebut.

Sewaktu bersiap mengajarkan puisi lagi, wajah-wajah dengan ekspresi kosong itu masih menghantui saya. Rubrik yang nyaris tidak ada gunanya bagi siswa masih membebani perasaan saya, dan membuat saya mempertanyakan bagaimana cara untuk memperjelas ekspektasi yang diperlihatkan oleh rubrik kepada para siswa. Dengan adanya tugas membaca tulisan profesional sebagai bagian dari gerakan Explicit Improvement Agenda di sekolah saya, saya menemukan riset dari Dylan Wiliam tentang Asesmen Formatif. Buku berjudul Embedding Formative Assessment (Menanamkan Penilaian Formatif) yang ditulis oleh Dylan bersama dengan Siobhan Leahy di tahun 2015 menyarankan satu perubahan kecil dalam cara pengajaran saya agar dapat memanfaatkan potensi rubrik dengan lebih baik: Mulailah dengan menggunakan contoh dari hasil karya yang pernah dibuat oleh siswa, alih-alih langsung menggunakan rubrik, untuk mengomunikasikan kualitas pekerjaan yang diharapkan.

Mengikuti saran William dan Leahy, saya berusaha menemukan rekaman pembacaan puisi siswa yang sudah lewat untuk kemudian memutar dua rekaman pembacaan puisi bersama para siswa dan membuka kesempatan untuk mendiskusikan masing-masing rekaman pembacaan. Kami sekelas kemudian terlibat dalam suatu diskusi yang kaya, di mana kami mengeksplorasi fitur-fitur, kelebihan, dan kelemahan dari kedua pertunjukan tersebut. Bersama-sama, kami menilai keduanya berdasarkan tolak ulur yang disediakan rubrik. Hal ini membuat para siswa dapat memahami lebih baik tentang deskriptor-deskriptor dalam rubrik yang tadinya masih samar dan tidak berkonteks, untuk menjadi contoh-contoh konkret yang dapat dicapai. Kegiatan tersebut juga memfasilitasi ajang debat yang seru di antara para siswa mengenai skor yang mereka anggap sesuai dari masing-masing pertunjukan.

Kegiatan ini ternyata mampu memaksa para siswa untuk mendalami bahasa rubrik serta menggunakan perbedaan-perbedaan dalam level setiap kriteria untuk memahami lebih baik pemahaman ataupun tebakan mereka mengenai capaian-capaian yang diharapkan. Sekarang siswa saya tidak hanya mampu untuk menjelaskan alasan mengapa kedua pertunjukan itu mampu mencapai level-level tertentu yang ditetapkan oleh rubrik, namun juga mengapa posisi yang satu bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain.

Pada sesi-sesi berikutnya, kami mengembangkan langkah-langkah praktis untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang kami temukan di setiap pertunjukan. Dengan adanya masukan dari sesama siswa dan penilaian mandiri dari mereka sendiri, siswa lalu memiliki kesempatan untuk menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mengembangkan dan mengimplementasikan masukan yang membangun demi peningkatan standar pertunjukan mereka.

Menggabungkan rubrik dan sampel hasil karya siswa telah menciptakan peluang yang luar biasa bagi siswa saya untuk membayangkan suatu gambaran yang cukup gamblang akan proses penilaian, juga melaluinya, mengembangkan kemampuan untuk memperbaiki kerja mereka sendiri.

Cara menggunakan sampel karya

1. Mulailah dengan diskusi bersama yang melibatkan satu kelas tentang dua sampel karya: Berdasarkan pengalaman saya, para siswa lebih mudah mengenali kualitas dari sebuah karya yang baik ketika mereka dapat membandingkan beberapa sampel, dibandingkan hanya menganalisis satu sampel saja, terlepas dari apakah sampel yang satu kualitasnya lebih baik atau tidak dari yang lain.

2. Tanyakanlah pada siswa, mana sampel yang lebih baik dan mintalah alasannya: Saya mendapati bahwa teknik Think-Pair-Share (Pikirkan-Pasangkan-Bagikan) adalah metode yang sangat bagus untuk digunakan dalam kegiatan diskusi semacam ini, agar para siswa mendapatkan cukup waktu untuk mempertimbangkan kualitas dari sampel yang baik dan yang kurang baik. Teknik ini juga membuka peluang bagi siswa untuk mengembangkan dan menggunakan kosa kata sebagai bahan penilaian serta perbaikan karya mereka.

3. Berilah kesempatan bagi siswa untuk membuat catatan tentang sampel-sampel tersebut: Saya mendorong para siswa saya untuk mengenali dan membuktikan kekuatan, kelemahan, batasan, serta kualitas yang mereka ingin masukkan ke dalam karya mereka sendiri; berikut fitur-fitur yang mereka temukan dalam sampel, dan yang terpenting bagaimana cara memperbaiki karya tersebut. Diskusi seputar perbaikan karya adalah kuncinya—kegiatan ini dapat menghasilkan gagasan-gagasan yang berguna demi mencapai hasil kerja yang lebih baik bagi para siswa, juga mengirim pesan yang jelas pada mereka bahwa setiap karya selalu dapat ditingkatkan kualitasnya. Selain itu, kegiatan ini dapat mencegah siswa untuk dengan asal menyalin karya, karena adanya kesalahpahaman bahwa apa yang Anda (para guru) tampilkan untuk siswa merupakan contoh yang harus ditiru seutuhnya oleh mereka.

Sampel seperti apa yang sebaiknya digunakan?

Ketika memulai pendekatan ini, saya mendapati bahwa lebih mudah untuk menyajikan satu sampel yang relatif kurang baik berdampingan dengan sampel lain yang lebih baik. Namun demikian, setelah para siswa menjadi lebih mahir dalam mengenali perbedaan kualitas dari sampel-sampel yang berbeda, saya mulai menggunakan sampel-sampel karya yang kualitasnya tidak jauh berbeda.

Sampel karya siswa harus anonim—sebaiknya dari tahun sebelumnya, dan dari siswa kelas-kelas lain atau bahkan dari sekolah lain. William dan Leahy menggarisbawahi pentingnya menggunakan karya anonim untuk mencegah terlibatnya faktor emosional dalam menganalisa sampel. “Menilai sebuah karya, terutama menilai karya salah satu teman sekelas, bisa melibatkan suatu emosi tertentu, dan adanya emosi tersebut sering kali berpengaruh dalam pengerjaan tugas. Di sisi lain, menilai karya yang anonim sifatnya netral secara emosi, sehingga para siswa lebih dapat fokus pada tugas mereka dengan lebih efektif.” (William & Leahy, 2015)

Setelah Anda memiliki suatu koleksi sampel, Anda dapat dengan hati-hati mengambil keputusan tentang sampel mana yang akan Anda berikan kepada siswa-siswa Anda. Saya mendapati bahwa hampir selalu lebih efektif untuk memberikan sampel yang menunjukkan kesalahan-kesalahan umum siswa untuk selanjutnya membetulkan kesalahpahaman yang ada selama ini—misalnya bahwa jawaban-jawaban panjang selalu lebih baik dibanding jawaban pendek. Sebagai pengajar, tentu Anda dapat mengenali kekeliruan-kekeliruan spesifik di salah satu subyek mata pelajaran yang Anda tahu hampir selalu dilakukan para siswa dari tahun ke tahun.

Di saat siswa dapat melihat kesalahan yang dibuat oleh sesama siswa, akan lebih sedikit kemungkinan mereka mengulangi kesalahan yang sama dalam pekerjaan mereka. Anda bisa mencari sampel-sampel yang menampilkan fitur-fitur dalam karya yang baik dan kurang baik yang ingin Anda soroti. Hal ini akan membantu siswa untuk memperluas keyakinannya tentang kemungkinan-kemungkinan yang mampu mereka capai untuk menciptakan karya yang lebih baik serta meningkatkan keterampilan demi perbaikan karya ke depan.

Membentuk siswa yang mampu berpikir independen merupakan esensi dari asesmen formatif. Oleh karena itu saya ingin mendorong para pengajar untuk mencari sumber-sumber penunjang asesmen formatif, terutama yang berfokus pada upaya untuk mengaktifkan kesadaran siswa untuk menjadi pemilik dari proses dan hasil belajar itu sendiri. Juga untuk menjadi sumber bagi satu sama lain.

Referensi

Andrade, H., Du, Y., & Wang, X. (2008). Putting Rubrics to the Test: The Effect of a Model, Criteria Generation, and Rubric-Referenced Self-Assessment on Elementary School Students' Writing. Educational Measurement: Issues And Practice, 27(2), 3-13.

Andrade, H. & Valtcheva, A. (2009). Promoting Learning and Achievement Through Self-Assessment. Theory Into Practice, 48(1), 12-19.

Black, P. & Wiliam, D. (2009). Developing the theory of formative assessment. Educational Assessment, Evaluation And Accountability, 21(1), 5-31.

Wiliam, D. & Leahy, S. (2015). Embedding formative assessment. Victoria: Hawker Brownlow Education.

Pilihlah sebuah topik yang Anda ajarkan di tahun ini yang pernah Anda ajarkan sebelumnya: Seperti apakah kesalahan-kesalahan yang umumnya dibuat para siswa dan apa saja kesalahpahaman yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya? Bagaimanakah Anda dapat menggabungkan sampel-sampel karya siswa ke dalam praktik Anda untuk menyoroti kedua hal di atas? Bagaimanakah cara Anda untuk memastikan bahwa karya-karya siswa yang Anda pilih tetap anonim?