Berbicara tentang pembelajaran di sekolah serta sarana pendukungnya, apa yang langsung terlintas di pikiran Anda? Mungkinkah tugas dan lingkungan kelas? Bagaimana dengan area seperti taman bermain atau ruang serba guna? Terkait hal ini, Rachael Jamieson-Newton dan Benjamin Newton berbagi detail ulasan mengenai permainan murid sekolah dasar di St Paul's Grammar di Sydney, New South Wales.
Dalam studi ini, sekolah dasar St Paul's Grammar mengeksplorasi berbagai strategi pembelajaran berbasis permainan di dalam dan di luar ruang kelas. St Paul's adalah sekolah privat ko-edukasional swasta di pinggir kota Sydney, di mana murid belajar dalam model pembelajaran berbasis inkuiri dalam kerangka kurikulum International Baccalaureate (IB).
Empat tahun yang lalu, eksekutif utama sekolah memulai sebuah penelitian yang berfokus pada peran aktivitas di luar kelas pada jam istirahat sebagai bagian dari strategi pembelajaran berbasis inkuiri. Setelah melihat keberhasilan murid dalam berbagai aktivitas berbasis permainan yang dilakukan di ruang kelas – khususnya yang berkaitan dengan kepercayaan diri dalam belajar dan kolaborasi – tim peneliti memutuskan untuk mengeksplorasi berbagai cara yang mungkin dilakukan untuk memperluas jangkauan aktivitas pembelajaran agar juga terjadi di taman bermain.
Memperluas pembelajaran dan proses inkuiri sampai pada taman bermain bertujuan agar murid mampu melihat diri mereka sebagai pembelajar aktif ke mana pun mereka pergi. Tim memulai dengan mencatat area yang kerap digunakan murid sebagai tempat bermain, baik di dalam maupun di luar ruangan. Mereka juga memperkirakan di mana kira-kira murid merencanakan dan berdiskusi mengenai permainan yang akan mereka lakukan sebelum memulai aktivitasnya.
Penelitian tersebut memberikan peluang bagi staf untuk memberikan lingkungan yang mendukung kecenderungan alami murid yang kerap memang belajar sembari bermain. Pada dasarnya, ada sangat banyak permainan semacam ini yang sering dimainkan oleh anak-anak dengan sendirinya tanpa perlu disuruh. Para peneliti mendefinisikan perbedaan penting antara “permainan bebas” yang memang diinisiasi oleh anak, dan “permainan terbimbing”, yang dicetuskan oleh guru untuk menghasilkan proses belajar tertentu. (Pyle & Danniels, 2017).
Ruang kelas kami biasanya menyertakan kesempatan untuk bagi murid untuk melakukan permainan terbimbing dan memberikan kesempatan bagi waktu bermain bebas untuk murid di jam istirahat. Meskipun begitu, kami belajar untuk terus melakukan refleksi semacam ini:
- Siapa yang membuat keputusan tentang apa yang dimainkan dan di mana permainan ini akan dilangsungkan?
- Ada berapa pilihan permainane?
- Apa saja aturannya?
- Apakah alat bantu permainan tersebut memiliki manfaatnya tersendiri?
- Seberapa bebas anak-anak untuk terlibat dalam permainan yang mereka pilih?
- Dengan kata lain, seberapa besar hak yang dimiliki anak-anak untuk memilih perannya dalam permainan ini?
Ruang bermain yang inklusif
Dalam satu tinjauan, tercatat bagaimana beberapa murid hanya bersedia untuk bermain sepak bola dan sangat kompetitif dalam memainkannya. Permainan ini tentu akan menggunakan sebagian besar ruang gerak yang tersedia dan hanya dimainkan oleh satu angkatan kelas tertentu dan terbatas untuk merangkul murid-murid lintas-angkatan. Di lain pihak, tidak aneh bahwa anak-anak secara natural menginginkan aktivitas yang hanya dapat dilakukan di lapangan terbuka.
Intervensi pertama yang dapat dilakukan adalah menghapus permainan sepak bola yang sifatnya kompetitif dan mengajak anak-anak melakukan aktivitas yang sifatnya lebih terbuka dan inklusif di ruang bermain bersama. Perubahan kecil semacam ini bisa dimulai dengan melakukan diskusi dengan anak-anak seputar penggunaan area tersebut. Bisakah anak-anak bermain dengan tongkat? Apakah tidak masalah untuk bermain dengan air dan lumpur? Apakah aman untuk berjalan seimbang di atas sebuah batang kayu?
Seiring waktu, dengan bantuan staf yang aktif terlibat dalam memberikan pemahaman mengenai permainan “bebas” di alam terbuka, akan banyak hal yang mulai berubah.
Guru menanggapi minat murid
Sebuah kesempatan untuk menciptakan perubahan datang ketika kantin dipindahkan dan menyisakan ruang kosong sepeninggalnya. Sejak itu, “Toko Alat Olahraga” mulai dibuka dan dikelola oleh murid dan untuk murid, di mana anak-anak saling meminjamkan berbagai peralatan - mulai dari bola dan stik olahraga, hingga kapur dan tali untuk melompat. Toko ini beroperasi seperti perpustakaan; dengan murid meminjam peralatan dan mengembalikannya pada akhir makan siang, seluruhnya dicatat oleh penanggung jawab toko alat olahraga.
Kegiatan ini membawa perubahan awal yang positif – permainan yang dimainkan murid mulai bersifat lebih kolaboratif dan menyenangkan, dan bukan kompetitif. Komunitas pembelajaran profesional atau professional learning community (PLC) dikembangkan dengan beranggotakan staf pengajar yang lebih luas yang tertarik untuk mengobservasi proses bermain murid, dengan salah satu tugas utama yaitu mengamati aktivitas bermain murid dan melaporkan berbagai minat dan karakteristik aktivitas fisik dari masing-masing murid.
Tugas staf adalah memfasilitasi serta meningkatkan pengalaman pembelajaran yang terjadi dalam aktivitas permainan yang dipimpin murid. Observasi yang dilakukan oleh PLC memberikan masukan bagi pihak sekolah untuk melakukan berbagai sarana bermain kreatif, misalnya pembelian truk pengangkut sampah mainan, ban bekas, peti susu, serta peralatan bangunan lainnya untuk dapat dipinjam oleh murid dari toko alat olahraga. Panci dan wajan asli, yang dibeli dari dari toko barang bekas setempat, juga menjadi alat bermain yang populer. Murid sangat menyukai barang-barang yang dapat digunakan dalam suatu permainan bebas yang dapat mereka pinjam dan gunakan di taman bermain.
Sekolah menanggapi kebutuhan anak-anak dan memberikan mereka pilihan. Salah satu hasil positif dari studi ini adalah meningkatnya aktivitas kreatif dan kolaboratif yang dilakukan oleh murid selama waktu istirahat. Salah satu contoh adalah sejumlah besar murid mengembangkan “The Hill”; sebuah model tambang yang kompleks. Mereka bekerja sama menggali tanah dan membuat saluran serta bendungan yang rumit. Beberapa murid berpura-pura menjadi arkeolog yang menggali artefak sedangkan beberapa yang lain membuat batu bata dari lumpur atau 'memasak' dan bermain peran sebagai keluarga.
Mendorong kolaborasi lintas-angkatan
Beberapa jenis permainan ini memang biasanya dilakukan oleh murid-murid yang usianya lebih muda. Namun kami mendapatkan kesempatan untuk terus memfasilitasi minat atas permainan semacam ini hingga murid naik ke kelas yang lebih tinggi, dengan efek yang sangat signifikan; di mana murid dari berbagai tingkatan umur yang berbeda mulai berkolaborasi dalam suatu permainan bersama. Hal ini dapat terjadi dengan melakukan observasi atas apa yang dimainkan oleh murid – bukan sebatas asumsi bahwa semua anak akan memainkan apa saja permainan yang ditawarkan, tetapi untuk benar-benar melihat apa yang mereka minati.
PLC perlu memahami bagaimana berbagai barang dan alat bermain yang disediakan tidak serta merta digunakan seperti yang dimaksudkan. Hal-hal semacam ini perlu dicatat dalam penelitian. “Meskipun sangat sulit untuk mengategorikan kegiatan bermain dibandingkan dengan dengan jenis kegiatan lainnya, salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan melihat siapa yang memiliki pusat kendali. Dalam suatu permainan, minat anak – bukan orang dewasa – adalah yang menentukan bagaimana interaksi dapat terus berlanjut” (Wesiberg et al., 2013, h.42).
Kami menyediakan ban dan satu truk penuh kerikil serta balok kayu; kami membayangkan para murid akan membangun ngarai dan memindahkan kerikil dengan ban yang ada. Para murid mengabaikan pengaturan ini dan, meneruskan menonton selama beberapa hari, kami melihat anak-anak memindahkan berbagai barang yang ada untuk disesuaikn dengan kebutuhan permainannya sendiri. Kerikil diratakan, ban dijadikan alat penggerak dan papan kayu digunakan sebagai sarana pembangunan proyek konstruksi yang sama sekali berbeda.
Hal inibmengajarkan kita untuk bersikap terbuka serta menjadi pengingat bahwa setiap kali kita tidak merasa yakin akan apa yang sebaiknya kita lakukan bagi pembelajaran, tanyakan saja pada ahlinya – anak-anak.
References
Pyle, A., & Danniels, E. (2017). A continuum of play-based learning: The role of the teacher in play-based pedagogy and the fear of hijacking play. Early Education and Development, 28(3), 274-289. https://doi.org/10.1080/10409289.2016.1220771
Weisberg, D. S., Zosh, J. M., Hirsh-Pasek, K., & Golinkoff, R. M. (2013). Talking it up: play, language development, and the role of adult support. American Journal of Play, 6(1), 39-54. https://eric.ed.gov/?id=EJ1016058
Pikirkan mengenai sekolah Anda sendiri, seberapa besar hak yang dimiliki oleh setiap murid di taman bermain? Apakah ruang bermain didominasi oleh aktivitas atau kelompok tertentu? Apakah Anda telah menyediakan berbagai peralatan untuk mendorong permainan yang sifatnya lebih inklusif?